Image Perubahan Pendidikan
Buku Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational Change, Open University Press, Buckingham merupakan kumpulan tulisan. Setelah dibuka dengan Pengantar oleh Herbert Altrichter, penyajian tulisan dibagi menjadi empat bagian dan diakhiri dengan overview yang berjudul Menuju Visi Sinoptik Perubahan Pendidikan di Negera Maju ditulis oleh John Elliot. Masing-masing bagian terdiri atas tiga tulisan, kecuali bagian keempat yang berisi empat tulisan.
Judul-judul keempat bagian tersebut
adalah (I) Perubahan Pendidikan dan Penyusunan Kebijakan, (II) Hubungan
antara Perubahan Sosial dan Perubahan Pendidikan, (III) Konseptualisasi
Proses Perubahan Sekolah dan (IV) Menyiapkan Guru untuk Terlibat dalam
Perubahan Pendidikan.
Adapun judul-judul dan penulis dari ketiga belas tulisan tersebut adalah: (1) Perubahan Ekonomi, Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan Peranan Negara, Ernest R. House; (2) Bagaimana Pendidikan Tidak Ditangani Lembaga Mana pun, Barry MacDonald; (3) Mengembangkan Keadaan Muram: Perkembangan Personal dan Sosial Siswa dan Proses Sekolah, John Schostak; (4) Komunitas, Perubahan Sekolah dan Networking Strategis, Peter Posch; (5) Individu dan Perubahan Sosial: Perubahan Pola Komunitas dan Tantangan Sekolah, Marie Brennan dan Susan Noffke; (6) Perubahan Sosial, Bahan Ajar dan Guru, J. Myron Atkin; (7) Perubahan Kultur Sekolah, Christine Finnan dan Henry M. Levin; (8) Beberapa Unsur Teori Mikro-Politik Perkembangan Sekolah, Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber; (9) Perubahan Konsepsi Kaji Tindak, Bridget Somekh; (10) Pendidikan Reflektif dan Kultur Sekolah: Sosialisasi Calon Guru, Angel Perez Gomez; (11) Studi Kasus dan Catatan Kasus: Suatu Percakapan tantang Proyek Hathaway, Susan Groundwater Smith dan Rob Walker; (12) Ahli Masa Depan?, Christine O’Hanlon; dan (13) Kontrol Guru dan Reformasi Pengembangan Profesionalitas, Lawrence Ingvarson. Berikut adalah substansi tiap tulisan dimaksud.
House dalam bab 1 mengidentifikasi empat
aspek ekonomi yang mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keempat hal
tersebut adalah (a) ekonomi mempengaruhi besar anggaran pendidikan dan
menimbulkan konsekuensi sosial, seperti ketidakmerataan ‘kue ekonomi’
yang memberi sekolah masalah, (b) tujuan kebijakan pendidikan tertentu
menuntut sekolah lebih efisien dan lebih produktif, (c) pendidikan yang
lebih baik menuntun pada kemampuan teknologi dan pekerjaan yang lebih
baik dan (d) pemikiran ekonomi melanda dunia pendidikan, misalnya,
kebijakan pendidikan dirumuskan dari sudut pandang kebutuhan sekolah
menciptakan dan merespon ‘pasar’. Kebijakan ‘pemasaran’ secara agresif
makin meminta peran penting. Gagasan muncul dari elit di ibu kota yang
didanai oleh sumber-sumber non pendidikan (Ricci, 1993). Semua periset
nampak seperti ‘tentara sewaan’ dan semua think tanks nampak menggunakan semua sumber daya institusionalnya untuk mengajukan pandangannya (Smith, 1991).
Tanah, tenaga kerja dan semua faktor
produksi menjadi komoditas untuk diperjual-belikan dan tergantung pada
pasar. Semua ada harganya, ‘nilai itu dilihat dari harganya’ (Gilpin,
1987). Pasar merusak peran lembaga tradisional –keluarga, komunitas,
lembaga agama. Rusaknya peran lembaga-lembaga tradisional tersebut juga
merusak basis dukungan tradisional dari pemerintah; pemerintah
jatuh-bangun dilihat dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan warga
negaranya dan dengan demikian pemerintah makin tergantung pada pebisnis.
‘isu politik sentral dalam kapitalisme… [adalah] hubungan antar bisnis
dan pemerintah atau dari perspektif lebih jauh, antara ekonomi dan
negara (Heilbroner, 1993). Khusus dalam bidang pendidikan, dari banyak
data empiris, kebijakan pemerintah sering counter-produktif, yaitu tidak
menghasilan pendidikan atau produktivitas lebih baik. Meskipun banyak
contoh reformasi yang berhasil, kebijakan sering tidak dirumuskan sesuai
dengan bagaimana lembaga pendidikan berfungsi dalam prakteknya.
MacDonald dalam bab 2 menyatakan bahwa
pendidikan masal yang umurnya sekitar seabad nampak tidak berperan
mengubah gap kaya-miskin di Inggris yang sekarang ditandai dengan peran
demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Tahun 1987-88, sekolah
diberi kebebasan mengelola keuangan sendiri, dan atas persetujuan orang
tua murid dapat melepaskan diri pengaruh pemerintah lokal. Pada saat
sama, kurikulum nasional diberlakukan dan disupervisi oleh pejabat pusat
yangtidak berpengalaman dan/atau tidak kompeten. Kurikulum sekolah
dasar dikonsentrasikan secara sempit pada keterampilan dasar dan
akuntabilitas penyampaiannya diuji dengan tes, sementara itu dalam
kurikulum sekolah menengah masalah personal, sosial dan semua yang
kondusif untuk pendidikan kewarganegaraan atau politik dimarjinalisasi.
Semua hal tersebut disiapkan untuk menaikkan usia anak meninggalkan
sekolah (sampai usia 16 tahun pada tahun 1972). Akibatnya diperlukan
kurikulum dan pedagogi (terutama sekolah menengah) yang lebih relevan
dengan kehidupan dan pada gilirannya sekolah perlu melakukan
interpretasi lebih liberal tentang subject matter, integrasi tematik disiplin ilmu di sekitar isu kemanusiaan, belajar yang lebih didasarkan pada inkuiri dan pendekatan child-centered.
Solusi-solusi manajerial untuk mencapai target nasional dan
berkurangnya peran pemerintah lokal menyebabkan terlihatnya kelemahan
kurikulum nasional. Akhir tahun 90-an, kelemahan diatasi dengan pensiun
awal, penolakan siswa recalcitrant dan teralienasi, sehingga
timbul masalah baru, yaitu sulitnya merekrut guru. Akhir tahun 1980-an,
kondisi konservatif serupa juga terjadi di Amerika, hanya ‘sentralisasi’
berada pada level negara bagian. Benang merah yang mendasari kondisi
konservatif adalah ekonomi, yang menurut Small (1907) –pengagum Adam
Smith- makin terpisah dari filosofi moral, makin seperti ‘tata bahasa
tanpa bahasa’, yang melahirkan prinsip ‘everything counts and nothing matters’.
John Schostak dalam bab 3 menyatakan
bahwa sejarah tahun 1980-an dan 1990-an merupakan reaksi pada tahun
1960-an dan 1970-an dengan Amerika dan Inggris masuk ke
neo-konservatisme yang menuntut ‘back to basics’ dan
nilai-nilai keluarga serta menolak pendidikan dan politik trendi dan
progresif dengan tekanan pada efisiensi sekolah. Dalam keadaan tersebut,
kurikulum adalah manifestasi dari bagaimana pengalaman subjektif
orang-orang lain dikemas dalam proses belajar mengajar (PBM) di sekolah,
atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu proses yang memunculkan
subjektivitas kultural. Studi psikoanalisis, feminisme dan studi
kultural menunjukkan bahwa proses rekayasa individu –atas dasar
efisiensi misalnya- selalu menuntun pada resistensi, sehingga dalam
masyarakat timbul polarisasi individu/kelompok dominan (D) dan
individu/kelompok yang didominasi atau disebut Orang lain (O). Beberapa
alternatif yang dapat ditempuh O terhadap D adalah (a) solusi
fundamentalis atau kultus: percaya penuh D; (b) solusi hermeneutik:
berusaha memahami D; (c) solusi radikal/ revolusioner/ subversif:
membuat diskursus alternatif; (d) solusi menyerah/ kepatuhan total atau
sebagian; (e) solusi ‘hidup tenang’: kamuflase yang menuntun pada apati
bukan pada perubahan sosial yang riil; (f) solusi penolakan tersembunyi/
gerakan bawah tanah dan (g) solusi penolakan terbuka/ gerilya /perang
terbuka. Dalam rangka mencari kepercayaan atau kepatuhan total,
antisipasiyang mungkin dari D adalah: (a) memakai diskursus kasih
saying: D adalah (sepertinya) untuk kepentingan O; (b) memakai
kekuasaan, ancama, teror; (c) peniadaan hak individu; (d) memakai
diskursus salahkan/ puji diri sendiri. Dalam mengevaluasi hubungan D dan
O ada tiga jenis evaluasi yang tersedia: (a) evaluasi birokratik:
menerima nilai pejabat dan memberinya informasi yang membuatnya mencapai
yang dicanangkannya; (b) evaluasi otokratik: menyediakan informasi pada
lembaga pemerintah yang mengontrol alokasi sumber daya dan (c) evaluasi
demokratis: pengaturan informasi sehingga timbul dialog rasional antara
D dan O. Kutipan dari MacDonald (1996) menutup tulisan Schostak, ‘lebih
penting dari skor sains dan matematika adalah keterlibatan generasi
akan datang dalam mempertahankan demokrasi dan menolong orang lemah:
anak-anak, orang tua, orang sakit, terbelakang, buta huruf, tidak punya
rumah dan orang yang lapar’.
Peter Posch dalam bab 4 mengidentifikasi
dua megatrend masyarakat. Pertama, individualisasi: (a) Di satu sisi,
pembebasan dari ikatan tradisional juga meningkatkan harapan bebas dari
interferensi industrial dan admnistratif, di sisi lain, makin tergantung
pada pasar kerja dan cara hidup baku yang mendukungnya, seperti
pendidikan, konsumsi, tawaran produk (Beck, 1992) dan (b) pergeseran
dari etika kewajiban dan tanggungjawab ke etika pengembangan diri.
Kedua, fragmentasi dunia kerja: makin banyak tenaga paruh waktu atau
‘tenaga portfolio’ (kontrak kerja dalam waktu tertentu). Eroupean Round Table Industrialist
(1994) menyatakan tuntutan bahwa tenaga kerja (a) secara teoritis
memahami hubungan kompleks, (b) secara teknis berhadapan dengan alat
kerja yang dikontrol program, (c) secara sosial mampu bekerja sama dalam
tim, (d) secara organisasional mampu melaksanakan tugas-tugas
organisasi, pelaksanaan dan evaluatif dan (e) secara emosional
menghayati pekerjaan,sehingga dapat mengembangkan diri. Tiga implikasi
megatrend tersebut bagi sekolah adalah (a) delegasi keputusan kurikulum
pada sekolah, (b) network sosial dengan lembaga, kelompok dan orang
dalam komunitas lokal yang harus dikonstruksi oleh sekolah dan (c)
kurikulum beragam dan bekerja sama dengan lembaga lain sehingga bermacam
kebutuhan peserta didik dapat dilayani (Elliot, 1996), dan (d) sekolah
makin dituntut memperjelas makna belajar dan hubungannya dengan
kehidupan personal dan di masa depan. Networks menjadi perhatian dalam
tulisan ini. Kondisi yang mendukungnya ialah (a) penekanan pada
pelatihan, (b) menggunakan kontak dengan guru lain secara sistematis,
(c) berbagai jenis dukungan finansial dan (d) keterlibatan guru dalam
kegiatan masyarakat setempat. Networks dinamik beda dengan dan mempunyai
kelebihan dari struktur hiearkis. Dalam network dinamik (a) terdapat
hubungan simetris, bukan atasan-bawahan, (b) keseteraan cost-benefit,
(c) komunikasi berlanjut, (d) masalah dan tujuan ditetapkan bersama,
(e) durasi keterlibatan bervariasi, (f) dapat terlibat lebih dari satu
networks, dan (f) pengetahuan tidak diterapkan secara instrumental untuk
memecahkan masalah tapi secara holistik dengan melibatkan kognisi,
orientasi nilai dan perasaan.
Marie Brennan dan Susan Noffke dalam bab 5
menyatakan bahwa sekolah di satu sisi dituntut untuk selalu mengikuti
perubahan, sementara di sisi lain diharapkan menyediakan institusi
relatif stabil yang atas dasar identitas dan komunitas dibentuk. Sekolah
juga mempunyai sejarah mereproduksi inekualitas dalam masyarakat
(apple, 1979), namun juga sejarah dalam menciptakan komunitas dan
sebagai tempat perjuangan lokal. Dua proyek yang diamati tulisan ini
adalah (a) SIP (School Improvement Project) 1982-1990 di
Victoria Australia dan (b) Proyek Kurikulum Afrika dan Afrika-Amerika
(PKAA). SIP mengekplorasi penggantian sistem inspeksi kualitas yang
sentralistik dengan program partisipasi lokal dalam evaluasi. Jadi
terhadap tiga jenis evaluasi yang dikemukakan macDonald (birokratik,
otokratik dan demokratik), ditambahkan lagi evaluasi partisipatorik
(Brown, 1982). SIP menekankan pengembangan berlanjut kapasitas berbagai
komunitas yang minat dan latarbelakangnya beda untuk terus sharing
dan mempertanyakan nilai yang diberlakukan di sekolah. Sekolah
diperlakukan sebagai mikro-kosmos dari masyarakat dan sistem sekolah
selalu berada dalam posisi mendukung perubahan mendasar dan sistemik.
Basil Bernstein (1996) yang mendiskusikan demokrasi dan hak pedagogis
menyatakan tiga hal perlu ada agar tercipta sekolah demokratis: (a)
pemberian kesempatan pada individu, (b) inklusi sosial, intelektual,
kultural dan personal, dan (c) partisipasi (politis) bukan saja dalam
hal diskursus tapi juga dalam hal outcome. PKAA adalah upaya mengatasi
kurikulum Amerika yang umumnya berssifat rasis dan mengatasinya dengan
cara melengkapinya dengan sejarah dan peradaban Afrika dan
Afrika-Amerika. Secara formal upaya dimulai tahun 1987. Tahun 1990-an,
fokus awal diperumit dengan diskusi tentang pendidikan ‘multi-kultural’
yang oleh sebagian partisipan dianggap upaya membelokkan fokus awal.
Banyak waktu digunakan untuk merumuskan tujuan umum yang menekankan
keberagaman kelompok dan komitmen bersama mengubah sistem pendidikan
yang rasis menjadi yang fair dan ekuitabel bagi semua orang (1993). Dari
sudut pandang perubahan pendidikan perlu dicatat (a) metodologi kaji
tindak yang diimport dari luar pada konteks yang mengakui atau
mendukungnya tidak mendukung upaya yang dilakukan, (b) perlu upaya
menangani konflik dengan komunitas yang sebelumnya memang sedang konflik
dan (c) bagi mereka yang terlibat dan identitasnya cukup berlainan
(misal, orang Eropa-Amerika dalam PKAA) perlu mengkaji identitas
personalnya.
J. Myron Atkin dalam bab 6 mencatat bahwa
faktor di luar berpengaruh banyak pada apa yang terjadi di dalam kelas:
kondisi kerja, status, otoritas, sosialisasi professional, susunan
organisasi. Tulisan ini menambahkan dua hal lagi (a) image bahan ajar,
khususnya sains dan implikasinya pada perubahan sosial dan (b)
kepercayaan, keterampilan dan perspektif umum guru (yang pada dasarnya
adalah tujuan semua perubahan pendidikan). Guru memberikan alasan beda
mengapa sains penting: untuk persiapan di dunia kerja, memahami
implikasinya pada masyarakat, mempunyai nilai estetik karena mengungkap
pola dan keteraturan, dst. Image sains pada abad 19 adalah mengagungkan
Tuhan dan perlunya patuh pada orang tua; ada akhir abad 19 sains adalah
untuk melatih pemikiran sejalan dengan populernya psikologi faculty;
ada awal abad 20 sains adalah studi tentang alam yang dipersepsi setara
alam rural murni dan indah, kontras dengan alam urban yang kotor, jahat
dan penuh dosa; pada tahun 1920-1930-an sains adalah untuk mengurangi
kerja kasar dan mengurangi penyakit dan selepas perang dunia II sains
adalah bidang yang harus diwaspadai aplikasinya. Beberapa image
kontemporer tentang sains (a) fokus pada sains yang dapat diterapkan
dengan segera, (b) guru menghadapi siswa yang bervariasi latar
belakangnya dibanding dengan 30 tahun lalu, (c) guru sains yang
mempersepsi dirinya ‘serba eksak’ berhadapan dengan penerapan sains
–misalnya menentukan lokasi pembuangan sampah- yang memerlukan
pertimbangan berbagai aspek yang tidak ‘eksak’.
Christine Finnan dan Henry M. Levin dalam
bab 7 mencatat pendapat Mead bahwa kultur itu seperti ikan yang tidak
sadar hidupnya berada di air. Dua fitur kultur digunakan tulisan ini
ialah (a) kultur berada pada level masyarakat/ kelompok orang (misal
Barat, masa kanak-kanak, schooling), lokal (berdasarkan
geografi, agama, etnis, okupasi, tempat kerja/sekolah,dst.) dan personal
(untuk memahami dan membentuk interaksi antar orang) dan (b) fitur yang
nampak kontradiktif dari kultur yaitu di satu sisi konservatif namun di
sisi lain selalu berubah. Lima kepercayaan dan asumsi yang mendasari
kultur sekolah adalah (a) Ekspektasi sekolah pada siswa: sekolah miskin
menekankan kepatuhan dan disiplin, sementara sekolah kaya menekankan
berpikir kritis; (b) ekspektasi siswa terhadap sekolah: sebagian
resisten karena mendapat pengaruh dari masyarakat sekitarnya; sebagian
sukses karena percaya pendidikan jalan ke kesuksesan, dst.; (c)
karakteristik sekolah: sekolah miskin ditandai rendahnya percaya diri
guru, pendapat pihak luar (orang tua, dst.) dianggap penghambat dan
resisten terhadap perubahan, sekolah kaya sebaliknya; (d) praktek
sekolah: misi yang didasarkan filosofi jelas (Montesori, bilingual, open learning,
dst.), menuntun ke praktek yang jelas; ekspektasi dan siswa rendah
menuntun ke praktek memorisasi dan pengajaran keterampilan dasar, dst.
dan (e) tuntutan perubahan: jika keputusan diambil pada level birokrasi
lebih tinggi, tuntutan berubah rendah. Hal yang tidak boleh dilupakan
dalam kultur sekolah adalah sejarah sekolah. ASP (Accelerated School Project)
adalah suatu reformasi pendidikan yang mengakui pentingnya kultur
sekolah. Sejak 1986, ASP menyebar ke sekitar 1000 sekolah dasar dan
lanjutan di 40 negara bagian, 12 pusat pendukung dan 300 tenaga terlatih
yang memantau sekolah. Proyek bertujuan untuk mempercepat proses
belajar terutama bagi siswa yang berisiko gagal dengan sekolah mengambil
keputusan dalam hal-hal: eksplorasi semua dimensi sekolah, konstruksi
tujuan dan visi, menetapkan prioritas, sistem pengelolaan yang
melibatkan semua orang, pendekatan sistematis pada kaji-tindak dan
pemecahan masalah serta tentang pedagogi menyeluruh yang menyatakan
semua sumberdaya sekolah dikerahkan untuk menghadapi tantangan proses
belajar mengajar.
Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber
dalam bab 8 mengamati dekade lalu ditandai oleh reformasi sekolah yang
bertema otonomi sekolah, desentralisasi dan devolusi baik di negara yang
dulunya sentralistik (Austria dan negara Eropa lainnya) maupun di
negara yang dulunya desentralistik (Inggris, Wales, dst.). Menurut
‘teori strukturasi rasional-kontinjen, organisasi itu sifatnya
berorientasi tujuan dengan sistem perencanaan rasional dan dengan
struktur objektif, sementara pengembangan organisasi dilaksanakan oleh
konstruktor organisasi atas dasar kalkulasi rasional (Turk, 1989).
Kontinjen artinya tergantung variabel konteks. Sementara itu, teori
mikro-politik berpandangan (a) organisasi mempunyai beragam tujuan dan
pengaruh, meskipun demikian teori (seharusnya) tidak menjelaskan
konsensus sebagai suatu bentuk dominasi, eliminasi, pre-emprif atau
menutup-nutupi konflik, (b) pelaku mengejar kepentingannya masing-masing
sesuai nilai yang dianutnya, dan (c) perjuangan strategis dan penuh
konflik terjadi atas definisi dan struktur organisasi. Beberapa masalah
teori mikro-politik adalah (a) harus dapat menjelaskan bagaimana
organisasi relatif stabil dan bertahan suatu waktu tertentu, (b)
pengaruh dari luar organisasi, (c) tidak melihat politik semata sebagai
pengkhianatan, konspirasi dan akumulasi pengaruh atau lawan dari
kebenaran dan penalaran. Organisasi hampir tidak dapat dikonsepsi semata
sebagai konglomerasi kekuasaan dan permainan (yang ditandai oleh
resiko, pemenangan, cheating, dst.). Konsensus tidak semata
diperoleh lewat negosiasi eksplisit, tapi juga bersumber dalam
lebenswelt yang dapat dipahamkan sebagai konsensus historis generasi
terdahulu yang kurang lebih dikenal luas serta yang sekarang
direproduksi lewat tindakan. Doyle dan Ponder (1976) menafsirkan
kesulitan yang dialami sekolah dasar ketika tugas pembelajaran makin
kompleks dikenalkan sebagai proses negosiasi. Tugas makin kompleks
menyebabkan siswa tidak nyaman dan ‘mengancam’ untuk tidak disiplin dan
dengan demikian secara implisit melakukan negosiasi dengan pendidik:
tugas lebih sederhana yang dikompensasi dengan disiplin di kelas.
Bridget Somekh dalam bab 9 mengawali
tulisannya dengan parabel yang membawa pesan bagaimana seseorang dapat
menikmati pendidikan/ pengembangan profesionalisme yang dikatakan bagus
tapi kemudian setelah berhasil malah membuatnya menjadi budak orang
lain. Kaji tindak adalah model perubahan yang tidak demikian, sembari
menekankan prinsip kepemilikan dan profesionalisme guru. Kaji tindak
dirumuskan dari riset perilaku individu dan kelompok oleh Lewin, Schon,
dst. Tahun 1970-an kaji tindak disempurnakan di Impington dan secara
luas didukung Education Act tahun 1944. Tahun 1980-1990-an,
pemerintahan Thatcher mempunyai posisi oposisional –menekankan dualisme
yang lekat dalam masyarakat Barat- dengan misalnya ucapan yang
mengkultuskan individualisme lewat perkataannya ‘Tidak ada yang disebut
masyarakat itu’. Posisi oposisional tersebut tidak sejalan dengan tema
kaji tindak yang menolak posisi oposisional, dan malah mengeksplorasi
serta membangun hubungan antara teori dan praktek, objektivitas dan
subjektivitas, dst., sehingga dengan demikian tema kaji tindak adalah
‘tugas dobel’ yang dilaksanakan bersama-sama/ kolektif atau apa yang
dinamakan Gidden ‘demokrasi dialogis’. Namun, tetap harus diingat bahwa
ketika mendeskripsikan diskursus sebagai ‘regimes of truth’
yang dikonstruksi orang-orang sepemikiran, Foucault memprediksi
ketidak-terhindaran semua sistem –seberapa besarnya pun niatnya untuk
memberdayakan orang lain- mengembangkan ortodoksi dan mekanisme untuk
memaksakannya dan beliau menyarankan gagasan dalam bukunya ‘sebagai
alat… untuk menghancurkan sistem kekuasaan, termasuk kekuasaan yang
darinya bukunya tersebut terbit’ (Foucault, 1975).
Angel Perez Gomez, dalam bab 10 menyarikan studi kasus praktek mengajar (practicum)
delapan calon guru di delapan universitas di Andalusia (Spanyol). Tiap
studi kasus berlangsung selama empat bulan. Beberapa faktor yang sangat
berpengaruh dan persisten adalah (a) tekanan kultur sekolah dan kelas
yang harus diikuti jika ingin berhasil, (b) ketidaknyamanan personal
dalam menguasai situasi kompleks dan asing serta ketakutan tidak
dihargai sebagai guru, (c) teori yang dipelajari ditemukan tidak berguna
untuk dipraktekkan di lapangan, (d) kekurangan acuan dan laternatif
teoritis/praktis untuk men’judge’ semua yang diamati dan dialami dan (e)
tidak berfungsinya supervisor sebagai penyeimbang kultur sekolah dan
kelas.
Susan Groundwater Smith dan Rob Walker
dalam bab 11 menyajikan studi dan catatan kasus sekolah dasar Hathaway
(SDH) yang terletak di daerah migran di Sidney. Organisasi kelas SDH
didesain ‘terbuka’: tiap hari berurusan dengan kebijakan dari atas dan
dengan perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Studi SDH diinisiasi
satu dekade lalu oleh Susan Groundwater Smith dengan tujuan untuk
memperoleh catatan kasus untuk digunakan dalam program pendidikan guru.
Di dunia pendidikan, studi kasus dikembangkan sejalan dengan proyek
untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum dan organisasi. Studi
kasus merupakan tilikan sentral saat ini dalam kaji tindak, evaluasi,
pengembangan kurikulum dan studi kebijakan. Dari sudut pandang
metodologi, studi kasus sering dianggap istilah pantechnicon
yang setara dengan riset kualitatif dan secara longgar dikaitkan dengan
istilah-istilah evuvurncaluasi ilmunatif dan responsif, riset
partisipan, etnografi pendidikan, riset naturalistik, dst. Studi SDH
menyatakan perlunya bertanya secara eksplisit mengapa masalah tertentu
saja yang dikaji dan mengapa masalah yang lainnya tidak dikaji. Hal lain
yang juga dikaji SDH adalah perlunya guru dapat mengembangkan
kaleidoskop permasalahan: fakta-fakta dapat disusun berulang-ulang untuk
sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Hal lainnya lagi adalah
terdapat dua makna author; (a) membuat deskripsi koheren bagi diri
sendiri dan (b) membuat deskripsi ‘ko-author’ dengan periset. Tahun
1970an Lawrence Stenhouse mendesain penelitian membandingkan interview
(‘sejarah oral’) yang datanya dicari oleh Lawrence Stenhouse dan Jean
Rudduck dengan observasi (‘etnografik’) yang datanya dicari oleh Stephen
Ball dan Rob Walker. Dengan mengacu ke Alfred Schutz, Stephen selalu
menyatakan bahwa interview sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak
dapat diperlakukan sebagai data yang lepas konteks (decontextualized data);
persoalan serupa juga diamati Stephen dan Walker dalam memisahkan
etnografer dari etnogarfi yang dibuatnya. Isu tersebut diberi tekanan
oleh Stenhouse untuk membuat archives data yang padanya komunitas peneliti dapat menyumbang dan menggunakannya sebagai sumber analisis.
Christine O’Hanlon dalam bab 12 mencatat
bahwa sejak tahun 1970an Eropa dan Amerika turun pertumbuhan ekonomi,
pengaruh politik global dan legitimasi kulturalnya. Hal tersebut
menyebabkan munculnya diskursus-diskursus reflektif dan kritikal: teori
kritikal, fenomenologi, etno-metodologi, Marxisme, eksistensialisme dan
pasca-modernisme. Tema-tema tersebut dalam fokus akademis dipadukan
dengan perspektif konstruksionisme sosial, dekonstruksionisme dan
pasca-modernisme. Dalam perspektif pasca-modern masyarakat dipandang
sebagai text serta teks ilmiah dan akademik sendiri dipandang sebagai
tindakan retorik yang tidak mempunyai legitimasi logis atau empiris
(inheren) ….(tapi adalah) representasi ideologi, kelompok dan
kepentingan berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan, tekanan critique
ideologi dan pasca-empiris tersebut mempertanyakan pendidikan guru
tradisional yang menekankan kemampuan akademis dan intelektual,
sementara pengetahuan dan pengalaman praktis dianggap sebagai insidental
dan bahkan ditiadakan karena dianggap subjektif atau anekdotal jika
digunakan sebagai bukti dalam karya tulis dan disertasi. Praktek
tradisional menuntut praktisi patuh pada suatu ‘otoritas’ yang dibangun
dari pengalaman praktis. Hanya dengan cara demikian guru memperoleh
pengetahuan praktis dan standards of excellence yang dengannya
kompetensi praktisnya dapat dievaluasi. Sekarang ini, debat tentang
pedagogi … mengabaikan bentuk keseluruhan ‘kurikulum’ dalam semua level
dan gagal untuk menempatkannya dalam faktor sosio-kultural kompleks yang
lebih luas yang berkaitan dengan concern ekonomi, politik dan
strategis dalam masyarakat Barat… Sayangnya, kurikulum nasional tidak
mengijinkan prinsip atau bahan ajar yang disusunnya untuk didebat, hanya
detil-detilnya yang dapat dikaji ulang…[Padahal hal yang diperlukan
adalah misalnya] pengembangan profesional guru menjadi pendidikan guru
ketika teori kritikal tentang situasi pengajaran memberi kesempatan pada
guru untuk menjelaskan dan memahami bagaimana pembelajaran dikontrol
faktor-faktor di luar kelas dalam konteks masyarakat dan politik.
Profesional dalam bidang pendidikan perlu mengenali bahwa pengetahuan
pedagogi dan kurikulum selalu problematik dan dengan demikian selalu
terbuka untuk dikaji, dinilai dan direvisi secara seksama.
Akhirnya, Lawrence Ingvarson dalam bab 13 mencatat tahun1973 labor government
mengeluarkan Karmel Report yang isinya mengenai pengembangan
profesional menyatakan bahwa suatu tanda okupasi berketerampilan sangat
tinggi adalah proses persiapannya sesuai standar dari praktisi itu
sendiri dan pengembangan selanjutnya juga sebagian besar adalah
tangungjawab profesi tersebut…Kenyataannya guru mempunyai sedikit
kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan
organisasi guru lebih peduli pada pelayanannya pada industri, bukannya
pada pengembangan keahlian yang dianggap tugas pemberi pekerjaan.
Sekarang, kita mempunyai manajemen berbasis sekolah, tapi guru mempunyai
kesempatan lebih sedikit dalam pengembangan profesi(onal)nya, kecuali
dalam lingkup tujuan yang secara sentral ditetapkan dalam school charters
dan kurikulum. Seperempat abad setelah Karmel Report, hampir semua
negara bagian mempunyai budget pengembangan profesi(onal). Tapi, di
Victoria missalnya, aktivitas dibatasi oleh school charters yang prioritasnya ditetapkan negara bagian dan pendidikan in-service yang school-focused bergeser ke pengembangan staf yang dikontrol manajemen. Tahun 1993, sebagai bagian dari kampanye, federal labor government
memberi dana 60 juta AUD untuk program nasional pengembangan
professional (NPDP)…Tapi, dana dapat digunakan hanya untuk tujuan yang
ditetapkan pemerintah federal atau prioritas nasional seperti misalnya
kurikulum nasional. Asesmen standar dan kinerja untuk sertifikasi
dikembangkan NBPTS (National Boards for Professional Teaching Standards)
Amerika. Asesmen serupa hendaknya meliput sekurang-kurangnya (a)
standar pembelajaran, (b) struktur insentif, (c) infrastruktur
pembelajaran profesional dan (d) sertifikasi profesional yang kredibel
dan voluntary.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar