Jumat, 06 Juli 2012

Program Bimbingan dan Konseling

A. Program Bimbingan dan Konseling
Program Bimbingan dan KonselingProgram pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan kebutuhan peserta didik (need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi, dengan substansi program pelayanan mencakup: (1) empat bidang, (2) jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3) format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan (5) volume/beban tugas konselor.

Program pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan Bimbingan dan Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.
Dilihat dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis program, yaitu:
  1. Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
  2. Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
  3. Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
  4. Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
  5. Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) >Bimbingan dan Konseling.
B. Manajemen Bimbingan dan Konseling
Secara keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga kegiatan utama, yaitu : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan, dan (3)penilaian
1. Perencanaan
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program tahunan yang telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan. Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang masing-masing memuat: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat bantu yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak yang terlibat; dan (e) waktu dan tempat.
Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. Satu kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas wajib konselor di sekolah/ madrasah.
B. Pelaksanaan Kegiatan
Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan keteladanan. Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat dilakukan di dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.
Pelaksanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2) kegiatan non tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan non tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.
Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka dengan peserta didik, untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah. Setiap kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program (LAPELPROG)..
C. Penilaian Kegiatan
Penilaian kegiatan bimbingan dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian hasil; dan (2) penilaian proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan melalui:
  1. Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.
  2. Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
  3. Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik.
Sedangkan penilaian proses dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi pelaksanaan kegiatan.
Hasil penilaian kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam LAPELPROG Hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.

10 Cara Meningkatkan Inovasi

10 Cara Meningkatkan InovasiUntuk menghadapi dinamika perubahan dan kompetisi yang sangat tajam dan ketat dan demi keberangsungan hidup organisasi itu sendiri, maka setiap orang dalam organisasi dituntut untuk dapat berfikir dan bertindak secara inovatif. Paul Sloane dalam sebuah tulisannya mengetengahkan 10 cara untuk meningkatkan inovasi dalam suatu organisasi, yakni:

1. Memiliki visi untuk berubah
Jangan berharap suatu tim akan menjadi inovatif apabila mereka tidak mengetahui tujuan yang hendak dicapai ke depan. Inovasi harus memiliki tujuan dan seorang pemimpin harus mampu menyatakan dan mendefinisikan tujuan secara jelas sehingga setiap orang dapat memahami dan mengingatnya. Para pemimpin besar banyak meluangkan waktu untuk menggambarkan dan menjelaskan visi, tujuan dan tantangan masa depan kepada setiap orang . Mereka berusaha meyakinkan setiap orang akan peran pentingnya dalam upaya mencapai visi dan tujuan, serta dalam menghadapi berbagai tantangan. Mereka mengilhami kepada setiap orang untuk menjadi enterpreneur yang bersemangat dan menemukan cara-cara yang inovatif untuk memperoleh kesuksesan.
2. Memerangi ketakutan akan perubahan
Para pemimpin inovatif senantiasa mengobarkan semangat pentingnya perubahan. Mereka berusaha menggantikan kepuasan atas kemapanan yang ada dengan kehausan akan ambisi. Mereka akan berkata, ” Saat ini kita memang sedang melakukan hal yang baik, tetapi kita tidak boleh berhenti dan berpuas diri dengan kemenangan yang ada, kita harus melakukan hal-hal yang lebih baik lagi”. Mereka menyampaikan pula bahwa saat ini kita sedang melakukan suatu spekulasi baru yang penuh resiko, dan jika kita tidak bergerak maka akan jauh lebih berbahaya. Mereka memberikan gambaran menarik tentang segala sesuatu yang hendak diraih pada masa mendatang. Oleh karena itu, satu-satunya cara menuju ke arah sana yaitu dengan berusaha memeluk perubahan.
3. Berfikir Seperti Pemodal yang Berani Mengambil Resiko
Seorang pemodal yang berani mengambil resiko akan menggunakan pendekatan portofolio, berusaha mencari keseimbangan antara kegagalan dengan kesuksesan. Mereka senang mempertimbangkan berbagai usulan atau gagasan tetapi tetap merasa nyaman dengan berbagai pemikiran yang menggambarkan tentang kegagalan-kegagalan yang mungkin akan diterima.
4. Memiliki Suatu Rencana Usulan yang Dinamis
Anda harus memfokus pada rencana usulan yang benar-benar hebat, setiap rencana mudah dilaksanakan, sumber tersedia dengan baik, responsif dan terbuka untuk semuanya. Berikan penghargaan dan respons yang wajar kepada karyawan serta para senior harus memliki komitmen agar karyawan tetap dapat menjaga kesegarannya dalam melaksanakan setiap pekerjaan.
5. Mematahkan Aturan
Untuk mencapai inovasi yang radikal, Anda harus memiliki keberanian manantang berbagai asumsi aturan yang ada di sekitar lingkungan. Bisnis bukan seperti permainan olah raga yang selalu terikat dengan aturan dan keputusan wasit, tetapi bisnis tak ubahnya seperti seni, yang di dalamnya memiliki banyak kesempatan untuk berfikir secara lateral, sehingga mampu menciptakan cara-cara baru tentang aneka benda dan jasa yang diinginkan para pelanggan.
6. Beri Setiap Orang Dua Pekerjaan
Berikan setiap orang dua pekerjaan pokok. Mintalah kepada mereka untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka secara efektif dan pada saat yang bersamaan kepada mereka diminta pula untuk menemukan cara-cara baru dalam melaksanakan pekerjaannya. Doronglah mereka untuk bertanya pada diri sendiri tentang apa sebenarnya tujuan esensial dari peran saya? Hasil dan nilai riil apa yang bisa saya berikan kepada klien saya, baik internal maupun eksternal? Apakah ada cara yang lebih baik untuk memberikan dan mencapai nilai atau tujuan tersebut? Dan jawabannya selalu mengatakan “YA”. Tetapi, kebanyakan orang tidak pernah atau jarang menanyakan hal-hal seperti itu.
7. Kolaborasi
Beberapa eksekutif perusahaan memandang kolaborasi sebagai kunci sukses dalam inovasi. Mereka menyadari bahwa tidak semua dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan pada sumber-sumber internal. Oleh karena itu, mereka melihat dunia luar dan mengajak organisasi lain sebagai mitra, sehingga bisa saling bertukar pengalaman dan keterampilan dalam team.
8. Menerima kegagalan
Pemimpin inovatif mendorong terbentuknya budaya eksperimen. Setiap orang harus dibelajarkan bahwa setiap kegagalan merupakan langkah awal dari perjalanan jauh menunju kesuksesan. Untuk menjadi orang benar-benar cerdas dan tangkas, setiap orang harus diberi kebebasan berinovasi, bereksperimen dan memperoleh kesuksesan dalam melakukan pekerjaannya, termasuk didalamnya mereka juga harus diberi kebebasan akan kemungkinan terjadinya kegagalan.
9. Membangun prototipe
Anda harus berani mencobakan suatu ide baru yang biaya dan resikonya relatif rendah ke dalam pasar (dunia nyata), kemudian lihat apa reaksi dari pelanggan dan orang-orang. Di sana sesungguhnya Anda akan lebih banyak belajar tentang dunia nyata, dibandingkan jika Anda hanya melakukan uji coba dalam laboratorium atau terfokus pada sekelompok orang saja.
10. Bersemangat
Anda harus fokus terhadap segala sesuatu yang ingin dirubah. Siap dan senantiasa bergairah dan bersemangat dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai tantangan. Energi dan semangat yang Anda miliki akan menular dan mengilhami setiap orang. Tak ada gunanya jika Anda mengisi bus dengan penumpang yang selalu merasa asyik dengan dirinya sendiri. Anda membutuhkan dan menghendaki orang-orang dan para pendukung Anda dengan semangat yang berkobar-kobar. Anda mengharapkan setiap orang dapat meyakini bahwa upaya mencapai tujuan merupakan sesuatu yang amat penting dan bermanfaat.
Jika Anda menghendaki setiap orang dapat terinpirasi untuk menjadi inovatif, merubah cara-cara yang biasa mereka lakukan, dan untuk mencapai hasil yang luar biasa, maka Anda mutlak harus memiliki semangat yang menyala-nyala tentang apa yang Anda yakini dan Anda harus dapat mengkomunikasikannya setiap saat ketika Anda berbicara dengan orang.

Guru yang Selalu Dikagumi dan Dikenang Muridnya

HYMNE GURU
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa
——————–
Guru yang Selalu DikagumiJika disimak lebih dalam lirik hymne guru di atas, kita bisa melihat pesan tentang sosok seorang guru yang selalu dikenang oleh murid-muridnya yakni guru yang berbakti mengabdikan diri untuk memberikan cahaya dalam kegelapan dan memberikan kesejukan  hati dan pikiran bagi para muridnya.
Saya yakin bahwa setiap orang pasti akan memiliki kenangan tersendiri terhadap guru-gurunya tatkala  kita berada di jenjang pendidikan TK, SD, SLTP, SLTA bahkan hingga ke PT. Dari sejumlah guru yang pernah mengajar dan mendidik kita, pasti  kita akan menemukan salah seorang guru atau lebih yang benar-benar kita rasakan sebagai seorang guru yang dianggap telah berjasa besar dalam mewarnai perjalanan hidup kita.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan jasa para guru saya yang lainnya, salah seorang guru yang saya kagumi dan senantiasa hidup dalam sanubari adalah Ibu Astirah (alm.), guru saya ketika masih duduk di bangku SD. Di mata saya, beliau adalah seorang guru yang telah memberikan dasar bagi hidup saya hingga saat ini.
Masih terkenang dalam benak saya,  jika saya berhasil menjawab pertanyaan atau mengerjakan suatu tugas yang diberikan, dengan segenap kasih sayangnya beliau selalu mengelus-elus kepala atau punggung saya. Beliau juga sering memberi kesempatan kepada saya untuk “belajar menguji diri”, misalnya mengikutsertakan saya dalam berbagai lomba kesiswaan, untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten.
Yang lebih berkesan,  ketika beliau menyertakan saya dalam acara lomba paduan suara di kecamatan saya, padahal mungkin beliau tahu kalau urusan tarik suara, saya tidak begitu bagus, tetapi beliau meyakinkan saya bahwa saya bisa. Mungkin karena bernyanyi secara keroyokan, akhirnya tim paduan saya berhasil menjuarai lomba dan melaju ke kejuaraan tingkat kabupaten, mewakili kecamatan saya .
Dari sanalah saya mulai punya keyakinan, bahwa saya sesungguhnya bisa berkesenian, meski dalam bersenandung saya tergolong lemah tetapi untuk bermain alat musik gitar setingkat RT,  saya masih berani diadu :) .
Ketika di SMP, SMA dan PT, saya pun menjumpai guru-guru yang  selalu saya kenang dan saya kagumi, tetapi karena ruang yang terbatas mohon maaf tidak dapat saya kemukakan di sini.
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan oleh Joel, bahwa ada 5 ciri guru yang hebat, yaitu:
  1. Inspired me and never let me settle for anything less than my best
  2. Compassionate, caring, made me feel important and welcomed, made a personal connection with me
  3. Were demanding, pushed me hard
  4. Had a great sense of humor
  5. Knowledge of the subject matter  (informasinya dapat dilihat DI SINI)
Sungguh beruntung, kelima ciri tersebut tampaknya telah saya dapatkan dari beberapa guru yang hingga saat ini  selalu saya kagumi dan terkenang dalam sanubari saya. Selanjutnya, dalam hati kecil saya berkata: Bisakah saya menjadi guru yang hebat seperti beliau-beliau? Apa yang dikenang oleh murid-murid saya dari apa yang telah saya berikan? Tentu saja, saya berharap semoga saya bisa mengikuti jejak beliau dan masih dalam suasana peringatan Hari Guru ini, ijinkan saya untuk menyampaikan  rasa terima kasih  saya kepada guru-guru  saya yang telah memberikan inspirasi hidup bagi saya, baik yang disampaikan melalui ungkapan kata maupun perbuatan. Semoga Allah SWT membalas segala jasa yang telah diberikan. Semoga pula kita dapat menjadi guru yang selalu dikagumi dan dikenang sepanjang masa oleh murid-murid kita. Amin.

Anda punya pengalaman yang indah dengan guru-guru Anda? Silahkan sampaikan dalam ruang komentar ini!

Fenomena Kiamat 2012

Fenomena 2012Jakarta (ANTARA News) – Seorang peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menyatakan fenomena meningkatnya aktivitas matahari yang menurut ramalan suku Maya terjadi pada 2012 tidak perlu dikhawatirkan apalagi dihubungkan dengan hari kiamat.
Peneliti astronomi dan astrofisik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang baru saja dikukuhkan sebagai profesor riset Indonesia Dr Thomas Djamaluddin Msc, Rabu, menyatakan tidak ada yang istimewa dari fenomena alam 2012 itu karena hanya siklus 11 tahunan meningkatnya aktivitas matahari.
“Fenomena 2012 yang menghebohkan masyarakat lebih banyak berawal dari ramalan suku Maya, bukan berasal dari alasan ilmiah. Kalau kemudian memang ada fenomena 2012 alasan ilmiahnya apa? Tapi yang lebih banyak diungkapkan justru bukan sainsnya,” kata Thomas usai dikukuhkan sebagai profesor riset di kantor Lapan Jakarta.
Menurut Thomas, fenomena aktivitas puncak matahari sebelumnya diperkirakan terjadi pada 2011, namun titik minimumnya bergeser sehingga diperkirakan terjadi pada 2012. Namun, sekarang pun ada pergeseran lagi sehingga kemungkinan terjadi pada 2013.
Secara alamiah, tegas Thomas, tidak ada yang istimewa karena itu merupakan siklus 11 tahunan. “Terakhir terjadi pada 1989 kemudian pada 2000, dan nanti 2012 atau 2013 akan terjadi lagi.”
Orang kemudian mengkhawatirkan terjadi badai matahari, padahal tidak akan ada badai matahari dahyat yang menimbulkan dampak parah.
Badai matahari pada dasarnya adalah fenomena bumi yang sering terjadi bukan saja saat aktivitas matahari mencapai puncak, tetapi saat aktivitas mulai naik hingga turun lagi tetap ada badai matahari.
Artinya memang frekuensi kejadiannya lebih banyak pada saat puncak. Tetapi, menurut Thomas, kekuatan terbesarnya belum tentu pada saat puncak. Sering kali yang paling kuat justru setelah puncak.
“Katakan puncak yang lalu terjadi di 2000, tetapi aktivitas matahari yang paling besar, yang paling kuat justru terjadi pada 2003,” katanya.
Perbincangan fenomena aktivitas matahari ini juga berkembang, yang kemudian dikaitkan lagi dengan seolah-olah akan ada tumbukan komet.
“Itu juga secara astronomi tidak ada buktinya. Tidak ada informasi atau perkiraan akan ada komet besar yang menabrak bumi pada 2012. Kemudian ada lagi yang memperkirakan ada planet Nibiru, padahal planet Nibiru tidak dikenal dalam astronomi,” jelas Thomas.
Berbagai perbincangan mengenai fenomena 2012, seperti seolah-olah berdasarkan teori astronomi ada asteroid besar yang akan menghantam bumi, sama sekali tidak punya dasar atau tidak ada alasan astronominya.
“Jadi pada dasarnya kekhawatiran 2012 lebih banyak terkait dengan penafsiran ramalan suku Maya, dan oleh ketua suku Maya sendiri sudah menyatakan bahwa 2012 bukan akhir dan itu hanyalah pergantian item kalender yang biasa,” kata dia.
Menurut Thomas, dampak dari badai matahari yang ditimbulkan dari percikan partikel matahari dan menimbulkan medan magnit itu selama ini hanya berdampak pada keberadaan satelit di orbit dan terhadap transformer fasilitas jaringan listrik.
Badai matahari dapat menimbulkan induksi ke fasilitas jaringan listrik sehingga terjadi kelebihan beban dan bisa menyebabkan trafo meledak atau terbakar.
Sampah Antariksa
Dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhannya sebagai profesor riset bersama Dr Ir Chunaeni Latief Msc, Thomas juga menyatakan bahwa wilayah Indonesia yang dilalui garis ekuator cukup panjang rentan menjadi tempat jatuhnya sampah antariksa yang sekarang kian banyak.
“Sampah antariksa semakin lama semakin banyak. Yang terpantau oleh sistem jaringan pemantau internasional ada sekitar 13 ribu lebih dan ancamannya bisa mengganggu satelit aktif. Dan salah satunya pernah, sampah antariksa bekas satelit Rusia menabrak satelit aktif karena semakin banyak satelit di antariksa kemungkinan bertabrakan semakin besar,” katanya.
Indonesia yang berada di garis ekuator memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena risiko jatuhnya sampah antariksa dibanding kawasan lain. Oleh karena itu Indonesia harus selalu waspada karena berada pada wilayah yang sering dilalui orbit satelit.
Hal itu harus menjadi perhatian Lapan dalam memberikan pelayanan informasi potensi bahaya benda jatuh dari antariksa sehingga kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat dinetraliskan, demikian Thomas Djamaluddin.
Bersama Thomas, peneliti Lapan Dr Ir Chunaeni Latief Msc juga dikukuhkan sebagai profesor riset dalam bidang Opto Elektronika dan Aplikasi Laser. Dalam orasinya ia lebih mencermati kandungan dan efek emisi gas rumah kaca (CO2) dan pemanfaatan instumensi Satklim LPN-1A untuk penelitiannya yang bermanfaat bagi dunia penerbangan, dan kajian pemanasan global.(*)
Sumber:  antaranews.com

Tentang Pendidikan Sepanjang Hayat 


sepanjang hayatBahwa manusia adalah makhluk yang tumbuh dan berkembang. Ia ingin mencapai suatu kehidupan yang optimal. Selama manusia barusaha untuk meningkatkan kehidupannya, baik dalam meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, kepribadian, maupun keterampilannya, secara sadar atau tidak sadar, maka selama itulah pendidikan masih berjalan terus.

Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan yang cocok bagi orang-orang yang hidup dalam dunia transformasi, dan di dalam masyarakat yang saling mempengaruhi seperti saat zaman globalisasi sekarang ini. Setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan dirinya secara terus menerus dengan situasi baru.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah secara tradisional mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan kehidupan yang sangat cepat dalam abad terakhir ini, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tutuntutan manusia yang makin meningkat. Pendidikan di sekolah hanya terbatas pada tingkat pendidikan dari sejak kanak-kanak sampai dewasa, tidak akan memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan dunia yang berkembang sangat pesat. Dunia yang selalu berubah ini membutuhkan suatu sistem yang fleksibel. Pendidikan harus tetap bergerak dan mengenal inovasi secara terus menerus.
Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Konsep ini harus disesuaikan dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang telah maju akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju. Apabila sebahagian besar masyarakat suatu bangsa masih yang banyak buta huruf, maka upaya pemeberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa mendapat prioritas dalam sistem pendidikan sepanjang hayat. Tetapi, di negara industri yang telah maju pesat, masalah bagaimana mengisi waktu senggang akan memperoleh perhatian dalam sistem ini.
Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak diperoleh terutama melalui interaksi antara orang tua – anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya, orang tua akan menunjukkan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan pendidikan terhadap anaknya.
Pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya. Dalam kehidupan modern seperti saat ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak sudah tidak memungkinkan akan dapat dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan pengembangan pribadi anak, berisikan nilai moral dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentuyang langsung dapat dirasakan dalam pengisian tenaga kerja.
Pendidikan di masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Bentuk pendidikan ini menekankan pada pemerolehan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan di masyarakat. Phillip H.Coombs (Uyoh Sadulloh, 1994:65) mengemukakan beberapa bentuk pendidikan di masyarakat, antara lain : (1) program persamaan bagi mereka yang tidak pernah bersekolah atau putus sekolah; (2) program pemberantasan buta huruf; (3) penitipan bayi dan penitipan anak pra sekolah; (4) kelompok pemuda tani; (5) perkumpulan olah raga dan rekreasi; dan (6) kursus-kursus keterampilan.

Konsep Akreditasi Sekolah

oleh : Akhmad Sudrajat
A. AKREDITASI SEKOLAH
1. Apa Akreditasi Sekolah itu?
Kompetensi Pengawas SekolahAkreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian (asesmen) sekolah secara sistematis dan komprehensif melalui kegiatan evaluasi diri dan evaluasi eksternal (visitasi) untuk menentuksn kelayakan dan kinerja sekolah.
2. Apa Dasar Hukum Akreditasi Sekolah?
Dasar hukum akreditasi sekolah utama adalah : Undang Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 60, Peraturana Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Pasal 86 & 87 dan Surat Keputusan Mendiknas No. 87/U/2002.
3. Apa Tujuan Akreditasi Sekolah?
Akreditasi sekolah bertujuan untuk : (a) menentukan tingkat kelayakan suatu sekolah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan dan (b) memperoleh gambaran tentang kinerja sekolah
4. Apa Fungsi Akreditasi Sekolah?
Fungsi akreditasi sekolah adalah : (a) untuk pengetahuan, yakni dalam rangka mengetahui bagaimana kelayakan & kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait, mengacu kepada baku kualitas yang dikembangkan berdasarkan indikator-indikator amalan baik sekolah, (b) untuk akuntabilitas, yakni agar sekolah dapat mempertanggungjawabkan apakah layanan yang diberikan memenuhi harapan atau keinginan masyarakat, dan (c) untuk kepentingan pengembangan, yakni agar sekolah dapat melakukan peningkatan kualitas atau pengembangan berdasarkan masukan dari hasil akreditasi
5. Apa Prinsip-Prinsip Akreditasi Sekolah?
Prinsip – prinsip akreditasi yaitu : (a) objektif, informasi objektif tentangg kelayakan dan kinerja sekolah, (b) efektif, hasil akreditasi memberikan informasi yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan, (c) komprehensif, meliputi berbagai aspek dan menyeluruh, (d) memandirikan, sekolah dapat berupaya meningkatkan mutu dengan bercermin pada evaluasi diri, dan (d) keharusan (mandatori), akreditasi dilakukan untuk setiap sekolah sesuai dengan kesiapan sekolah.
6. Apa Karakteristik Sistem Akreditasi Sekolah?
Sistem akreditasi memiliki karakteristik : (a) keseimbangan fokus antara kelayakan dan kinerja sekolah, (b) keseimbangan antara penilaian internal dan eksternal, dan (d) keseimbangan antara penetapan formal peringkat sekolah dan umpan balik perbaikan
7. Apa Cakupam Akreditasi Sekolah?
Akreditasi sekolah dilaksanakan mencakup : (a) Lembaga satuan pendidikan (TK, SD, SMP, SMA) dan (b) Program Kejuruan/kekhususan (SDLB, SMPLB, SMALB, SMK)
8. Apa Komponen Penilaian Akreditasi Sekolah ?
Akreditasi sekolah mencakup penilaian terhadap sembilan komponen sekolah, yaitui (a) kurikulum dan proses belajar mengajar; (b) administrasi dan manajemen sekolah; (c) organisasi dan kelembagaan sekolah; (d) sarana prasarana (e) ketenagaan; (f) pembiayaan; (g) peserta didik; (h) peranserta masyarakat; dan (1) lingkungan dan kultur sekolah. Masing-masing kompoenen dijabarkan ke dalam beberapa aspek. Dari masing-aspek dijabarkan lagi kedalam indikator. Berdasarkan indikator dibuat item-item yang tersusun dalam Instrumen Evaluasi Diri dan Instrumen Visitasi.
9. Bagaimana Prosedur Akreditasi Sekolah ?
Akreditasi dilaksanakan melalui prosedur sebagai berikut : (a) pengajuan permohonan akreditasi dari sekolah; (b) evaluasi diri oleh sekolah; (c) pengolahan hasil evaluasi diri ; (d) visitasi oleh asesor; (e) penetapan hasil akreditasi; (f) penerbitan sertifikat dan laporan akreditasi
10. Bagaimana Sekolah Mempersiapkan Akreditasi Sekolah?
Dalam mempersiapkan akreditasi, sekolah melakukan langkah-langkah sebagai berikut : (a) Sekolah mengajukan permohonan akreditasi kepada Badan Akreditasi Propinsi (BAP)-S/M untuk SLB, SMA, SMK dan SMP atau kepada Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota untuk TK dan SD Pengajuan akreditasi yang dilakukan oleh sekolah harus mendapat persetujuan atau rekomendasi dari Dinas Pendidikan; (b) Setelah menerima instrumen evaluasi diri, sekolah perlu memahami bagaimana menggunakan instrumen dan melaksanakan evaluasi diri. Apabila belum memahami, sekolah dapat melakukan konsultasi kepada BAN-SM mengenai pelaksanaan dan penggunaan instrumen tersebut; (c) Mengingat jumlah data dan insformasi yang diperlukan dalam proses evaluasi diri cukup banyak, maka sebelum pengisian instrumen evaluasi diri, perlu dilakukan pengumpulan berbagai dokumen yang diperlukan sebagai sumber data dan informasi
11. Apa Persyaratan Sekolah agar Dapat Mengikuti Akreditasi?
Sekolah dapat diikutsertakan aktrditasi apabila : (a) memiliki surat keputusan kelembagaan (UPT); (b) memiliki siswa pada semua tingkatan; (c) memiliki sarana dan prasarana pendidikan; (d) memiliki tenaga kependidikan; (e) melaksanakan kurikulum nasional; dan (f) telah menamatkan siswa.
12. Siapa Pelaksana Akreditasi Sekolah ?
Pelaksana akreditasi sekolah terdiri dari : (a) Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M), (b) Badan Akreditasi Propinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M), dan (c) Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota . Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) merupakan: badan non struktural yang secara teknis bersifat independen dan profesional yang terdiri atas unsur-unsur masyarakat, organisasi penyelenggara pendidikan, perguruan tinggi, dan organisasi yang relevan..yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan, standar, sistem,dan perangkat akreditasi secara nasional. Badan Akreditasi Propinsi Sekolah/Madrasah (BAP-S/M) berkewenangan untuk melaksanakan kegiatan akreditasi SMP, SMA, SMK dan SLB. Sedangkan, Unit Pelaksana Akreditasi (UPA) Kabupaten/Kota berkewenangan melaksanakan akreditasi untuk TK dan SD.
13. Apa Hasil dari Akreditasi ?
Hasil akreditasi berupa : (a) Sertifikat Akreditasi Sekolah, dan (b) Profil Sekolah, kekuatan dan kelemahan, dan rekomendasi.Sertifikat Akreditasi Sekolah adalah surat yang menyatakan pengakuan dan penghargaan terhadap sekolah atas status dan kelayakan sekolah melalui proses pengukuran dan penilaian kinerja sekolah terhadap komponen-komponen sekolah berdasarkan standar yang ditetapkan BAN-SM untuk jenjang pendidikan tertentu.
14. Bagaimana Menetapkan Hasil Akreditasi ?
Laporan tim asesor yang memuat hasil visitasi, catatan verifikasi, dan rumusan saran bersama dengan hasil evaluasi diri akan diolah oleh BAN-S/M untuk menetapkan nilai akhir dan peringkat akreditasi sekolah sesuai dengan kondisi nyata di sekolah. Penetapan nilai akhir dan peringkat akreditasi dilakukan melalui rapat pleno BAN-SM sesuai dengan kewenangannya. Rapat pleno penetapan hasil akhir akreditasi harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu (50 % + 1) anggota BAN-SM Nilai akhir dan peringkat akreditasi juga dilengkapi dengan penjelasan tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing komponen dan aspek akreditasi, termasuk saran-saran tindak lanjut bagi sekolah, Dinas Pendidikan, maupun Departemen Pendidikan Nasional dalam rangka peningkatan kelayakan dan kinerja sekolah di masa mendatang. Penjelasan kualitatif dan saran-saran harus merujuk pada hasil temuan dan bersifat spesifik agar mempermudah pihak sekolah untuk melakukan pengembangan dan perbaikan internal dan pihak terkait (pemerintah daerah dan dinas pendidikan) melakukan pemberdayaan dan pembinaan lebih lanjut terhadap sekolah.
15. Berapa Lama Masa Berlaku Akreditasi ?
Masa berlaku akreditasi selama 4 tahun. Permohonan Akreditasi Ulang 6 bulan sebelum masa berlaku habis. Akreditasi Ulang untuk perbaikan diajukan sekurang-kurangnya 2 tahun sejak ditetapkan.
16. Bagaimana Pengaduan atas Hasil Akreditasi ?
Ketidakpuasan terhadap hasil akreditasi dapat disampaikan kepada BAN-S/M dengan tembusan BAP-S/M /UPA Kabupaten/Kota setempat dan BAN-S/M melakukan verifikasi dan evaluasi, menyampaikan hasilnya kepada BAP-S/M/UPA Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti
17. Apa Tindak Lanjut Hasil Akreditasi ?
Hasil akreditasi ditindaklanjuti oleh Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Penyelenggara sekolah guna kepentingan peningkatan mutu sekolah
B. EVALUASI DIRI
1. Apa Evaluasi Diri itu ?
Upaya sistematis untuk mengumpulkan, memilih dan memperoleh data dan informasi yang valid dari fakta yang dilakukan oleh sekolah yang bersangkutan, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh tentang keadaan sekolah untuk dipergunakan dalam rangka pengambilan tindakan manajemen bagi pengembangan sekolah.
2. Apa Tujuan Evaluasi Diri ?
Tujuan evaluasi diri untuk mendapatkan informasi yang objektif, transparan, dan akuntabel dari sekolah yang diakreditasi.
3. Apa fungsi Evaluasi Diri?
Fungsi evaluasi diri adalah sebagai penilaian pertama untuk menentukan kelayakan sekolah dibandingkan dengan standar kelayakan nasional
4. Apa Manfaat Evaluasi Diri ?
Manfaat evaluasi diri adalah : (a) membatu sekolah dalam perencanaan dan pengembangan lebih lanjut; (b) membantu pemerintah dalam tugas pemberdayaan sekolah; dan (c) sebagai bagian penting dari sistem akreditasi.Hasil evaluasi dapat digunakan untuk menentukan tingkat kelayakan sekolah dibandingkan standar kelayakan nasional yang dijadikan pagu. Dengan mengetahui kelayakan sekolah, selanjutnya kepada sekolah yang belum mencapai tingkatan minimal dari pagu mutu, dilakukan pembinaan secara terus menerus sehingga mencapai pagu itu.
5. Bagaimana Sekolah Melaksanakan Evaluasi Diri ?
Kegiatan evaluasi diri tidak boleh dilakukan secara sembarangan namun harus berdasarkan kondisi nyata sekolah. Oleh karena itu, agar diperoleh data evaluasi diri yang akurat dan objektif, maka kepala sekolah perlu melakukan koordinasi untuk melakukan pengisian instrumen evaluasi diri. Sebaiknya di sekolah di bentuk Tim Evaluasi Diri yang bertugas untuk mendata dan menyiapkan berbagai bukti fisik yang diperlukan guna mendukung pengisian instrumen evaluasi diri.Pengisian instrumen evaluasi diri dapat disesuaikan dengan kebutuhan waktu, namun tidak melewati batas waktu yang telah ditentukan. Setelah pengisian instrumen evaluasi diri, sekolah harus menyerahkan kembali instrumen tersebut dengan melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan. Di samping itu, sekolah harus mengisi Surat Pernyataan bermaterai yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah. Apabila skor evaluasi diri kurang dari 56, maka BAN-S/M tidak akan melakukan visitasi dan dokumen evaluasi diri akan dikembalikan pada sekolah yang bersangkutan untuk diperbaiki hingga mencapai minimal skor 56.
6. Bagaimana Rancangan Instrumen Evaluasi Diri ?
Instrumen Evalusasi Diri untuk setiap jenjang dan jenis sekolah terdiri dari :dua bagian utama, yaitu :
Bagian pertama tentang butir-butir soal untuk mengungkap sembilan komponen sekolah, baik komponen utama maupun komponen tambahan yang akan diperhitungkan untuk menentukan skor hasil akreditasi. Terdiri dari 185 butir pernyataan, bersifat dikotomis ( Ya=1) dan (Tidak=0), setiap komponen memiliki bobot yang berbeda, skor butir untuk pernyataan terbuka jika tidak diisi diberi skor 0 dan jika diisi diberi skor 1, dan setiap butir memiliki skor maksimal = 1. Setiap komponen disertai dengan data tentang analisis kelemahan dan kekuatan masing-masing komponen
Bagian kedua berupa isian data penunjang tentang keadaan sekolah. Data ini hanya merupakan penunjang atas data yang tercantum pada Bagian Pertama dan tidak akan diolah menjadian skor akreditasi
7. Bagaimana Teknik Skoring Instrumen Evaluasi Diri ?
Menghitung skor komponen utama :Jumlah skor total komponen utama dibagi dengan jumlah butir komponen Utama dikali 70 %. Contoh : jumlah butir komponen I (utama) adalah 40, skor jawaban pernyataan = 30, maka skor komponen utama = 30/40 x 70 % = 0,53.
Menghitung skor komponen tambahan : Jumlah skor jawaban komponen tambahan dibagi dengan jumlah butir komponen tambahan dikali 30 %. Contoh : jumlah butir komponen tambahan) adalah 15, skor jawaban pernyataan = 10, maka skor komponen tambahan = 10/15 x 30% = 0,19
Menghitung untuk mendapatkan nilai ratusan : Jumlahkan skor komponen utama dan tambahan pada masing-masing komponen, kemudian dikalikan 100. Contoh : skor komponen utama = 0,53 Skor komponen tambahan = 0,19, maka skor komponen total = (0,53+0,19) x 100 = 72
Menghitung nilai akhir evaluasi diri : Nilai komponen dikalikan dengan bobotnya masing-masing. Setelah itu dijumlahkan dan dibagi dengan 100 untuk mendapatkan nilai ratusan.
8. Bagaimana Menentukan Klasifikasi Peringkat Akreditasi Sekolah ?
Untuk menentukan klasikasi peringkat akreditasi, selanjutnya nilai akhir dibandingkan dengan kritria berikut ini :A (Amat Baik) dengan nilai 86 -100, B (Baik) dengan niali 71 – 85, C (Cukup) dengan nilai 56 -70. Tidak terakreditasi jika kurang dari 56
C. VISITASI
1. Apa Visitasi itu ?
Visitasi adalah kunjungan tim asesor ke sekolah dalam rangka pengamatan lapangan, wawancara dengan warga sekolah, verifikasi data pendukung, serta pendalaman hal-hal khusus yang berkaitan dengan komponen dan aspek akreditasi.
2. Apa Tujuan Visitasi ?
Visitasi bertujuan : (a) meningkatkan keabsahan dan kesesuaian data/informasi; (b) bemperoleh data/informasi yang akurat dan valid untuk menetapkan peringkat akreditasi; (c) memperoleh informasi tambahan (pengamatan, wawancara, dan pencermatan data pendukung); dan (d) mendukung pengambilan keputusan yang tepat dan tidak merugikan pihak manapun, dengan berpegang pada prinsip-prinsip: obyektif, efektif, efisien, dan mandiri.
3. Siapakah Pelaksana Visitasi ?
Pelaksana Visitasi adalah asesor yang memiliki persyaratan dan kewenangan, sebagai berikut : (a) memiliki kompetensi, integritas diri dan komitmen untuk melaksanakan tugasnya; (b) berpengalaman minimal 5 tahun dalam pelaksanaan dan pengelolaan pendidikan, (c) kualifikasi pendidikan minimal D3/Sarmud (TK/SD), dan S1/sederajat (SMP dst); (d) memahami dan menguasai konsep/prinsip akreditasi termasuk mekanisme visitasi; (e) telah mengikuti pelatihan dan memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh BAS/BAN-SM dan (f) bertanggung-jawab untuk melaksanakan tugasnya sesuai prosedur dan norma.; (g) bertanggung-jawab terhadap kerahasiaan hasil visitasi, dan melaporkannya secara obyektif ke BAN-SM; (h) memiliki wewenang untuk menggali data/-informasi dari berbagai sumber di sekolah; (i) diangkat sesuai surat tugas (waktu), dan dapat diangkat kembali (jika layak dalam tugas tsb).
4. Bagamana Proses Visitasi ?
Proses visitasi merupakan rangkaian pelaksanaan akreditasi yang melekat dengan fungsi evaluasi diri dan sekolah diharapkan untuk senantiasa menjamin kelengkapan dan ketepatan data dan informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan akreditasi sekolah Visitasi dilaksanakan oleh Tim yang terdiri dari dua orang Asesor.. Agar visitasi berjalan sesuai dengan tujuannya, sehingga dapat mendukung hasil akreditasi yang komprehensif, valid, dan akurat, serta dapat memberikan manfaat, maka kegiatan visitasi harus mengikuti tata cara pelaksanaan yang baku. Visitasi dilaksanakan jika suatu sekolah dinyatakan layak berdasarkan penilaian evaluasi diri. Visitasi dilaksanakan segera (maksimal 5 bulan) setelah sekolah mengirimkan evaluasi diri.
5. Bagamana Tata Cara Visitasi ?
Tata cara visitasi dilakukan melalui tahapan – tahapam sebagai berikut :
(a) Persiapan;
Untuk pelaksanaan visitasi, BAP-S/M/UPA menunjuk dan mengirimkan asesor. Asesor diangkat oleh BAP-S/M /UPA untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan mekanisme, prosedur, norma, dan waktu pelaksanaan yang telah ditetapkan;
(b) Verifikasi data dan informasi
Asesor datang ke sekolah menemui Kepala Sekolah menyampaikan tujuan dari visitasi, melakukan klarifikasi, verifikasi dan validasi atau cek-ulang terhadap data dan informasi kuantitatif maupun kualitatif. Kegiatan klarifikasi, verifikasi dan validasi dilakukan dengan cara membandingkan data dan informasi tersebut dengan kondisi nyata sekolah melalui pengamatan lapangan, observasi kelas, wawancara.
(c) Klarifikasi Temuan
Tim asesor melakukan pertemuan dengan warga sekolah untuk mengklarifikasi berbagai temuan penting atau ketidak sesuaian yang sangat signifikan antara fakta lapangan dengan data/informasi yang terjaring dalam instrument evaluasi diri.
(c) Penyusunan dan Penyerahan Laporan
Asesor menyusun perangkat laporan, baik individual maupun tim yang terdiri dari (1) tabel pengolahan data; (2) instrumen visitasi, (3) rekomendasi atas temuan, dan (4) berita acara visitasi untuk selanjutnya diserahkan kepada BAP-S/M /UPA.
6. Bagamana Tata Krama Pelaksanaan Visitasi ?
Pelaksanaan Visitasi mengikuti tata krama sebagai berikut
  • Lakukan wawancara dengan suasana yang kondusif;
  • Hindari kesepakatan atau bargaining yang negatif;
  • Jangan mendebat argumentasi yang disampaikan oleh nara sumber (responden);
  • Jangan menggurui nara sumber (responden);
  • Jangan merasa berkedudukan lebih tinggi;
  • Bersahabat dan membantu secara professional;
  • Hindari suasana menekan;
  • Jangan mengada-ada;
  • Jangan meminta hal-hal yang tidak diperlukan untuk akreditasi;
  • Sesuaikan diri dengan budaya setempat;
  • Tunjukan kekompakan tim
7. Bagamana Tata Tertib Pelaksanaan Visitasi ?
Pelaksanaan Visitasi mengikuti tata tertib sebagai berikut :
  • Datang ke sekolah tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan;
  • Tunjukkan surat tugas tanpa diminta oleh pihak sekolah;
  • Sampaikan secara jelas mengenai tujuan, mekanisme dan jadwal visitasi;
  • Tidak diperkenankan untuk menerima pemberian dalam bentuk apapun (uang atau barang);
  • Agar berpakaian rapih dan sopan
8. Apa Larangan bagi Asesor ?
  • Asesor dilarang keras melakukan intimidasi agar sekolah berkeinginan atau memberikan sesuatu dalam bentuk apapun.
  • Asesor dilarang keras melakukan perjanjian/kesepakatan yang dapat mengakibatkan tidak objektifnya hasil visitasi.
  • Asesor dilarang keras menerima sesuatu yang akan berdampak atau cenderung mempengaruhi objektifitas hasil visitasi.
  • Asesor dilarang keras membuka kerahasiaan data/informasi yang diperoleh dan hasil visitasi
9. Apa Larangan bagi Sekolah ?
  • Sekolah dilarang keras melakukan kegiatan yang menghambat visitasi.
  • Sekolah dilarang keras memanipulasi data dan memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kondisi nyata sekolah.
  • Sekolah dilarang keras memberikan apapun kepada asesor yang akan mengurangi objektifitas hasil visitasi
10. Bagaimana Pembiayaan Visitasi ?
  • Besarnya biaya visitasi per sekolah ditentukan oleh BAN-S/M.
  • Komponen pembiayaan antara lain; honor, transportasi dan akomodasi yang memadai dan layak bagi tim asesor.
  • Sekolah yang divisitasi tidak dikenakan dan tidak diperkenankan mengeluarkan dana untuk apapun selama berlangsungnya kegiatan visitasi.
Sumber :  http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/03/akreditasi-sekolah/

11 Asumsi Guru sebagai Sebuah Profesi

Profesionalisme GuruTerkait dengan upaya profesionalisme guru di Indonesia, Sudarwan Danim (2006) mengemukakan sebelas asumsi yang harus dipenuhi jika para guru benar-benar hendak ditempatkan sebagai sebuah profesi yang terhormat. Kesebelas asumsi tersebut adalah:
  1. Secara relatif mereka dibayar lebih baik daripada apa yang mereka dapatkan sekarang di manapun mereka dipekerjakan.
  2. Mereka mempunyai pilihan untuk mengaktualkan kemampuan profesionalnya dengan bekerja secara memandu sendiri.
  3. Mereka mempunyai peluang untuk menyuarakan secara lebih besar mengenai peran dalam tugas mereka.
  4. Adanya kejelasan mengenai alur puncak karier yang tersedia bagi mereka
  5. Mereka mengawasi peran mereka sendiri
  6. Mereka membuat keputusan tentang siswa pada level unit kerja mereka.
  7. Mereka memiliki rencana pembayaran jasa yang dibedakan antara guru yang mampu dan yang kurang mampu.
  8. Aktualisasi diri dalam kerangka membangun relasi dengan yang lain.
  9. Pemberian tanggung jawab dan tambahan kesejahteraan dalam aneka bentuknya.
  10. Lingkungan memberikan suplai di mana disiplin tidak lagi menjadi fokus utama perilaku guru.
  11. Adanya perlindungan kebebasan akademik bagi guru. Guru yang tidak kompeten tidak diberi peluang untuk menuntut hak lebih banyak dan mereka tidak perlu dibela oleh organisasi.
Sumber :  http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/10/21/tips-agar-pendidik-diperlakukan-terhormat/

Umpan Balik yang Efektif bagi Siswa

Umpan balikUmpan balik merupakan sebuah proses di kelas yang telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para peneliti praktik pembelajaran sejak tahun 1970-an hingga sekarang ini. Secara konsisten, para peneliti telah menemukan bukti-bukti bahwa ketika guru mampu menggunakan prosedur umpan balik yang efektif ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswanya. Bahkan, hasil studi yang dilakukan Bellon, Bellon, dan Blank menunjukkan bahwa dibandingkan dengan berbagai perilaku mengajar lainnya, pemberian umpan balik akademik  ternyata lebih berkorelasi dengan prestasi belajar siswa. Dengan tanpa memandang kelas, status sosial ekonomi, ras, atau keadaan sekolah korelasi ini cenderung konsisten. Ketika umpan balik dan prosedur korektif digunakan secara tepat ternyata sebagian besar siswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya hingga di atas 20% .
Umpan balik yang efektif merupakan bagian integral dari sebuah dialog instruksional antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, maupun siswa dengan dirinya sendiri, dan bukanlah sebuah praktik yang terpisahkan.
Terkait dengan umpan balik yang efektif ini, Black dan Wiliam mencatat tiga komponen penting yaitu:
(1) Recognition of the desired goal.
Umpan balik diberikan sebagai respons atas kinerja siswa. Kinerja siswa adalah kesanggupan siswa untuk dapat menunjukkan penguasaannya atas berbagai tujuan pembelajarannya. Guru harus dapat merumuskan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai secara jelas dan dapat mengkomunikasikannya pada awal pembelajaran, baik tentang wilayah materi, indikator kurikuler maupun penguasaan tujuan.
Salah satu metode yang cukup efektif untuk memastikan bahwa siswa memahami tujuan pembelajarannya yaitu dengan cara melibatkan mereka dalam menetapkan “kriteria keberhasilan” yang bisa dilihat atau didengar. Misalnya, guru dapat memperlihatkan beberapa contoh produk sebagai tujuan pembelajaran yang patut ditiru oleh para siswa, menunjukkan kalimat-kalimat yang benar dengan ditulis menggunakan huruf kapital, kesimpulan yang diambil dari data, penyajian tabel atau grafik dan sejenisnya.
Apabila para siswa telah dapat memahami tentang kriteria keberhasilan pembelajarannya, mereka akan terbantu untuk mengarahkan belajarnya dan mereka akan lebih mampu untuk melaksanakan proses pembelajarannnya
Selain memberikan pemahaman yang jelas tentang tujuan pembelajaran, guru juga perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami indikator dari tingkat penguasaan tujuan pembelajarannya, baik secara lisan, tertulis maupun dalam bentuk lainnya.
(2) Evidence about present position
Istilah ”bukti” di sini menunjuk kepada informasi atau fakta tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran, khusunya tentang sejauhmana tujuan pembelajaran telah tercapai dan sejauhmana tujuan pembelajaran itu belum tercapai.
Grant Wiggin mengemukakan bahwa umpan balik bukanlah tentang pemberian pujian atau celaan, persetujuan atau ketidaksetujuan, tetapi sebagai usaha untuk memberikan nilai atau makna. Umpan balik pada dasarnya bersifat netral yang menggambarkan apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan siswa. Selain itu, bahwa umpan balik juga harus bersifat obyektif, deskriptif dan disampaikan pada waktu yang tepat yakni pada saat tujuan pembelajaran masih segar dalam benak siswa.
Salah satu cara pemberian umpan balik yang cukup bermakna yaitu dengan membandingkan produk siswa dengan kriteria keberhasilan telah telah dikomunikasikan sebelumnya. Contoh sederhana pemberian umpan balik yaitu dengan membuat sebuah format tentang “Daftar Kriteria Keberhasilan”. Dalam daftar tersebut, guru dapat memberikan tanda + (plus) untuk menunjukkan tentang kriteria yang telah berhasil dipenuhi siswa dan memberikan catatan tertentu untuk yang belum dipenuhinya.
(3) Some understanding of a way to close the gap between the two.
Umpan balik yang efektif yaitu harus dapat memberikan bimbingan kepada setiap siswa tentang bagaimana melakukan perbaikan. Black dan Wiliam menegaskan bahwa setiap siswa harus diberi bantuan dan kesempatan untuk melakukan perbaikan. Guru tidak hanya memberikan umpan balik yang mencerminkan tentang kinerja yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran siswanya, tetapi juga harus dapat memberikan strategi dan tips tentang cara yang lebih efektif untuk mencapai tujuan, serta kesempatan untuk menerapkan umpan balik yang diterimanya.
Wiggins meyakini bahwa melalui siklus umpan balik ini dapat menghasilkan keunggulan kinerja siswa. Oleh karena itu, siswa harus senantiasa memiliki akses rutin terhadap kriteria dan standar-standar tugas yang harus dituntaskannya; mereka juga harus memperoleh umpan balik dalam upaya menyelesaikan tugas-tugasnya, mereka harus memiliki kesempatan untuk memanfaatkan umpan balik untuk memperbaiki kerjanya serta mengevaluasi kembali terhadap standar
Terjemahan bebas dari judul asli : Providing Students with Effective Feedback. Academic Leadership Jounal online Volume 4 – Issue 4 Feb 12, 2007

Tips Memotivasi Siswa untuk Belajar

Tips  Memotivasi Siswa untuk BelajarMotivasi belajar siswa merupakan  hal yang amat penting bagi pencapaian kinerja atau prestasi belajar siswa. Dalam hal ini, tentu saja menjadi tugas dan kewajiban guru untuk senantiasa dapat  memelihara dan meningkatkan motivasi belajar siswanya. Meminjam pemikiran dari  USAID DBE3 Life Skills for Youth, berikut ini beberapa ide yang dapat digunakan oleh guru untuk memotivasi siswa di dalam kelas.
  1. Gunakan metode dan kegiatan yang beragam
  2. Jadikan siswa peserta aktif
  3. Buatlah tugas yang menantang namun realistis dan sesuai
  4. Ciptakan suasana kelas yang kondusif
  5. Berikan tugas secara proporsional
  6. Libatkan diri Anda untuk membantu siswa mencapai hasil
  7. Berikan petunjuk pada para siswa agar sukses dalam belajar
  8. Hindari kompetisi antarpribadi
  9. Berikan Masukan
  10. Hargai kesuksesan dan keteladanan
  11. Antusias dalam mengajar
  12. Tentukan standar yang tinggi (namun realisitis) bagi seluruh siswa
  13. Pemberian penghargaan untuk memotivasi
  14. Ciptakan aktifitas yang melibatkan seluruh siswa dalam kelas
  15. Hindari penggunaan ancaman
  16. Hindarilah komentar buruk
  17. Kenali minat siswa-siswa Anda
  18. Peduli dengan siswa-siswa Anda
Sumber :  http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/09/11/tips-memotivasi-siswa-untuk-belajar/

Image Perubahan Pendidikan

Image Perubahan PendidikanBuku Altrichter, Herbert dan Elliott, John (2000), Ed., The Images of Educational Change, Open University Press, Buckingham merupakan kumpulan tulisan. Setelah dibuka dengan Pengantar oleh Herbert Altrichter, penyajian tulisan dibagi menjadi empat bagian dan diakhiri dengan overview yang berjudul Menuju Visi Sinoptik Perubahan Pendidikan di Negera Maju ditulis oleh John Elliot. Masing-masing bagian terdiri atas tiga tulisan, kecuali bagian keempat yang berisi empat tulisan.
Judul-judul keempat bagian tersebut adalah (I) Perubahan Pendidikan dan Penyusunan Kebijakan, (II) Hubungan antara Perubahan Sosial dan Perubahan Pendidikan, (III) Konseptualisasi Proses Perubahan Sekolah dan (IV) Menyiapkan Guru untuk Terlibat dalam Perubahan Pendidikan.
Adapun judul-judul dan penulis dari ketiga belas tulisan tersebut adalah: (1) Perubahan Ekonomi, Penyusunan Kebijakan Pendidikan dan Peranan Negara, Ernest R. House; (2) Bagaimana Pendidikan Tidak Ditangani Lembaga Mana pun, Barry MacDonald; (3) Mengembangkan Keadaan Muram: Perkembangan Personal dan Sosial Siswa dan Proses Sekolah, John Schostak; (4) Komunitas, Perubahan Sekolah dan Networking Strategis, Peter Posch; (5) Individu dan Perubahan Sosial: Perubahan Pola Komunitas dan Tantangan Sekolah, Marie Brennan dan Susan Noffke; (6) Perubahan Sosial, Bahan Ajar dan Guru, J. Myron Atkin; (7) Perubahan Kultur Sekolah, Christine Finnan dan Henry M. Levin; (8) Beberapa Unsur Teori Mikro-Politik Perkembangan Sekolah, Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber; (9) Perubahan Konsepsi Kaji Tindak, Bridget Somekh; (10) Pendidikan Reflektif dan Kultur Sekolah: Sosialisasi Calon Guru, Angel Perez Gomez; (11) Studi Kasus dan Catatan Kasus: Suatu Percakapan tantang Proyek Hathaway, Susan Groundwater Smith dan Rob Walker; (12) Ahli Masa Depan?, Christine O’Hanlon; dan (13) Kontrol Guru dan Reformasi Pengembangan Profesionalitas, Lawrence Ingvarson. Berikut adalah substansi tiap tulisan dimaksud.
House dalam bab 1 mengidentifikasi empat aspek ekonomi yang mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keempat hal tersebut adalah (a) ekonomi mempengaruhi besar anggaran pendidikan dan menimbulkan konsekuensi sosial, seperti ketidakmerataan ‘kue ekonomi’ yang memberi sekolah masalah, (b) tujuan kebijakan pendidikan tertentu menuntut sekolah lebih efisien dan lebih produktif, (c) pendidikan yang lebih baik menuntun pada kemampuan teknologi dan pekerjaan yang lebih baik dan (d) pemikiran ekonomi melanda dunia pendidikan, misalnya, kebijakan pendidikan dirumuskan dari sudut pandang kebutuhan sekolah menciptakan dan merespon ‘pasar’. Kebijakan ‘pemasaran’ secara agresif makin meminta peran penting. Gagasan muncul dari elit di ibu kota yang didanai oleh sumber-sumber non pendidikan (Ricci, 1993). Semua periset nampak seperti ‘tentara sewaan’ dan semua think tanks nampak menggunakan semua sumber daya institusionalnya untuk mengajukan pandangannya (Smith, 1991).
Tanah, tenaga kerja dan semua faktor produksi menjadi komoditas untuk diperjual-belikan dan tergantung pada pasar. Semua ada harganya, ‘nilai itu dilihat dari harganya’ (Gilpin, 1987). Pasar merusak peran lembaga tradisional –keluarga, komunitas, lembaga agama. Rusaknya peran lembaga-lembaga tradisional tersebut juga merusak basis dukungan tradisional dari pemerintah; pemerintah jatuh-bangun dilihat dari kemampuannya meningkatkan kesejahteraan warga negaranya dan dengan demikian pemerintah makin tergantung pada pebisnis. ‘isu politik sentral dalam kapitalisme… [adalah] hubungan antar bisnis dan pemerintah atau dari perspektif lebih jauh, antara ekonomi dan negara (Heilbroner, 1993). Khusus dalam bidang pendidikan, dari banyak data empiris, kebijakan pemerintah sering counter-produktif, yaitu tidak menghasilan pendidikan atau produktivitas lebih baik. Meskipun banyak contoh reformasi yang berhasil, kebijakan sering tidak dirumuskan sesuai dengan bagaimana lembaga pendidikan berfungsi dalam prakteknya.
MacDonald dalam bab 2 menyatakan bahwa pendidikan masal yang umurnya sekitar seabad nampak tidak berperan mengubah gap kaya-miskin di Inggris yang sekarang ditandai dengan peran demokrasi sebagai alat mempertahankan kekuasaan. Tahun 1987-88, sekolah diberi kebebasan mengelola keuangan sendiri, dan atas persetujuan orang tua murid dapat melepaskan diri pengaruh pemerintah lokal. Pada saat sama, kurikulum nasional diberlakukan dan disupervisi oleh pejabat pusat yangtidak berpengalaman dan/atau tidak kompeten. Kurikulum sekolah dasar dikonsentrasikan secara sempit pada keterampilan dasar dan akuntabilitas penyampaiannya diuji dengan tes, sementara itu dalam kurikulum sekolah menengah masalah personal, sosial dan semua yang kondusif untuk pendidikan kewarganegaraan atau politik dimarjinalisasi. Semua hal tersebut disiapkan untuk menaikkan usia anak meninggalkan sekolah (sampai usia 16 tahun pada tahun 1972). Akibatnya diperlukan kurikulum dan pedagogi (terutama sekolah menengah) yang lebih relevan dengan kehidupan dan pada gilirannya sekolah perlu melakukan interpretasi lebih liberal tentang subject matter, integrasi tematik disiplin ilmu di sekitar isu kemanusiaan, belajar yang lebih didasarkan pada inkuiri dan pendekatan child-centered. Solusi-solusi manajerial untuk mencapai target nasional dan berkurangnya peran pemerintah lokal menyebabkan terlihatnya kelemahan kurikulum nasional. Akhir tahun 90-an, kelemahan diatasi dengan pensiun awal, penolakan siswa recalcitrant dan teralienasi, sehingga timbul masalah baru, yaitu sulitnya merekrut guru. Akhir tahun 1980-an, kondisi konservatif serupa juga terjadi di Amerika, hanya ‘sentralisasi’ berada pada level negara bagian. Benang merah yang mendasari kondisi konservatif adalah ekonomi, yang menurut Small (1907) –pengagum Adam Smith- makin terpisah dari filosofi moral, makin seperti ‘tata bahasa tanpa bahasa’, yang melahirkan prinsip ‘everything counts and nothing matters’.
John Schostak dalam bab 3 menyatakan bahwa sejarah tahun 1980-an dan 1990-an merupakan reaksi pada tahun 1960-an dan 1970-an dengan Amerika dan Inggris masuk ke neo-konservatisme yang menuntut ‘back to basics’ dan nilai-nilai keluarga serta menolak pendidikan dan politik trendi dan progresif dengan tekanan pada efisiensi sekolah. Dalam keadaan tersebut, kurikulum adalah manifestasi dari bagaimana pengalaman subjektif orang-orang lain dikemas dalam proses belajar mengajar (PBM) di sekolah, atau dengan kata lain, kurikulum adalah suatu proses yang memunculkan subjektivitas kultural. Studi psikoanalisis, feminisme dan studi kultural menunjukkan bahwa proses rekayasa individu –atas dasar efisiensi misalnya- selalu menuntun pada resistensi, sehingga dalam masyarakat timbul polarisasi individu/kelompok dominan (D) dan individu/kelompok yang didominasi atau disebut Orang lain (O). Beberapa alternatif yang dapat ditempuh O terhadap D adalah (a) solusi fundamentalis atau kultus: percaya penuh D; (b) solusi hermeneutik: berusaha memahami D; (c) solusi radikal/ revolusioner/ subversif: membuat diskursus alternatif; (d) solusi menyerah/ kepatuhan total atau sebagian; (e) solusi ‘hidup tenang’: kamuflase yang menuntun pada apati bukan pada perubahan sosial yang riil; (f) solusi penolakan tersembunyi/ gerakan bawah tanah dan (g) solusi penolakan terbuka/ gerilya /perang terbuka. Dalam rangka mencari kepercayaan atau kepatuhan total, antisipasiyang mungkin dari D adalah: (a) memakai diskursus kasih saying: D adalah (sepertinya) untuk kepentingan O; (b) memakai kekuasaan, ancama, teror; (c) peniadaan hak individu; (d) memakai diskursus salahkan/ puji diri sendiri. Dalam mengevaluasi hubungan D dan O ada tiga jenis evaluasi yang tersedia: (a) evaluasi birokratik: menerima nilai pejabat dan memberinya informasi yang membuatnya mencapai yang dicanangkannya; (b) evaluasi otokratik: menyediakan informasi pada lembaga pemerintah yang mengontrol alokasi sumber daya dan (c) evaluasi demokratis: pengaturan informasi sehingga timbul dialog rasional antara D dan O. Kutipan dari MacDonald (1996) menutup tulisan Schostak, ‘lebih penting dari skor sains dan matematika adalah keterlibatan generasi akan datang dalam mempertahankan demokrasi dan menolong orang lemah: anak-anak, orang tua, orang sakit, terbelakang, buta huruf, tidak punya rumah dan orang yang lapar’.
Peter Posch dalam bab 4 mengidentifikasi dua megatrend masyarakat. Pertama, individualisasi: (a) Di satu sisi, pembebasan dari ikatan tradisional juga meningkatkan harapan bebas dari interferensi industrial dan admnistratif, di sisi lain, makin tergantung pada pasar kerja dan cara hidup baku yang mendukungnya, seperti pendidikan, konsumsi, tawaran produk (Beck, 1992) dan (b) pergeseran dari etika kewajiban dan tanggungjawab ke etika pengembangan diri. Kedua, fragmentasi dunia kerja: makin banyak tenaga paruh waktu atau ‘tenaga portfolio’ (kontrak kerja dalam waktu tertentu). Eroupean Round Table Industrialist (1994) menyatakan tuntutan bahwa tenaga kerja (a) secara teoritis memahami hubungan kompleks, (b) secara teknis berhadapan dengan alat kerja yang dikontrol program, (c) secara sosial mampu bekerja sama dalam tim, (d) secara organisasional mampu melaksanakan tugas-tugas organisasi, pelaksanaan dan evaluatif dan (e) secara emosional menghayati pekerjaan,sehingga dapat mengembangkan diri. Tiga implikasi megatrend tersebut bagi sekolah adalah (a) delegasi keputusan kurikulum pada sekolah, (b) network sosial dengan lembaga, kelompok dan orang dalam komunitas lokal yang harus dikonstruksi oleh sekolah dan (c) kurikulum beragam dan bekerja sama dengan lembaga lain sehingga bermacam kebutuhan peserta didik dapat dilayani (Elliot, 1996), dan (d) sekolah makin dituntut memperjelas makna belajar dan hubungannya dengan kehidupan personal dan di masa depan. Networks menjadi perhatian dalam tulisan ini. Kondisi yang mendukungnya ialah (a) penekanan pada pelatihan, (b) menggunakan kontak dengan guru lain secara sistematis, (c) berbagai jenis dukungan finansial dan (d) keterlibatan guru dalam kegiatan masyarakat setempat. Networks dinamik beda dengan dan mempunyai kelebihan dari struktur hiearkis. Dalam network dinamik (a) terdapat hubungan simetris, bukan atasan-bawahan, (b) keseteraan cost-benefit, (c) komunikasi berlanjut, (d) masalah dan tujuan ditetapkan bersama, (e) durasi keterlibatan bervariasi, (f) dapat terlibat lebih dari satu networks, dan (f) pengetahuan tidak diterapkan secara instrumental untuk memecahkan masalah tapi secara holistik dengan melibatkan kognisi, orientasi nilai dan perasaan.
Marie Brennan dan Susan Noffke dalam bab 5 menyatakan bahwa sekolah di satu sisi dituntut untuk selalu mengikuti perubahan, sementara di sisi lain diharapkan menyediakan institusi relatif stabil yang atas dasar identitas dan komunitas dibentuk. Sekolah juga mempunyai sejarah mereproduksi inekualitas dalam masyarakat (apple, 1979), namun juga sejarah dalam menciptakan komunitas dan sebagai tempat perjuangan lokal. Dua proyek yang diamati tulisan ini adalah (a) SIP (School Improvement Project) 1982-1990 di Victoria Australia dan (b) Proyek Kurikulum Afrika dan Afrika-Amerika (PKAA). SIP mengekplorasi penggantian sistem inspeksi kualitas yang sentralistik dengan program partisipasi lokal dalam evaluasi. Jadi terhadap tiga jenis evaluasi yang dikemukakan macDonald (birokratik, otokratik dan demokratik), ditambahkan lagi evaluasi partisipatorik (Brown, 1982). SIP menekankan pengembangan berlanjut kapasitas berbagai komunitas yang minat dan latarbelakangnya beda untuk terus sharing dan mempertanyakan nilai yang diberlakukan di sekolah. Sekolah diperlakukan sebagai mikro-kosmos dari masyarakat dan sistem sekolah selalu berada dalam posisi mendukung perubahan mendasar dan sistemik. Basil Bernstein (1996) yang mendiskusikan demokrasi dan hak pedagogis menyatakan tiga hal perlu ada agar tercipta sekolah demokratis: (a) pemberian kesempatan pada individu, (b) inklusi sosial, intelektual, kultural dan personal, dan (c) partisipasi (politis) bukan saja dalam hal diskursus tapi juga dalam hal outcome. PKAA adalah upaya mengatasi kurikulum Amerika yang umumnya berssifat rasis dan mengatasinya dengan cara melengkapinya dengan sejarah dan peradaban Afrika dan Afrika-Amerika. Secara formal upaya dimulai tahun 1987. Tahun 1990-an, fokus awal diperumit dengan diskusi tentang pendidikan ‘multi-kultural’ yang oleh sebagian partisipan dianggap upaya membelokkan fokus awal. Banyak waktu digunakan untuk merumuskan tujuan umum yang menekankan keberagaman kelompok dan komitmen bersama mengubah sistem pendidikan yang rasis menjadi yang fair dan ekuitabel bagi semua orang (1993). Dari sudut pandang perubahan pendidikan perlu dicatat (a) metodologi kaji tindak yang diimport dari luar pada konteks yang mengakui atau mendukungnya tidak mendukung upaya yang dilakukan, (b) perlu upaya menangani konflik dengan komunitas yang sebelumnya memang sedang konflik dan (c) bagi mereka yang terlibat dan identitasnya cukup berlainan (misal, orang Eropa-Amerika dalam PKAA) perlu mengkaji identitas personalnya.
J. Myron Atkin dalam bab 6 mencatat bahwa faktor di luar berpengaruh banyak pada apa yang terjadi di dalam kelas: kondisi kerja, status, otoritas, sosialisasi professional, susunan organisasi. Tulisan ini menambahkan dua hal lagi (a) image bahan ajar, khususnya sains dan implikasinya pada perubahan sosial dan (b) kepercayaan, keterampilan dan perspektif umum guru (yang pada dasarnya adalah tujuan semua perubahan pendidikan). Guru memberikan alasan beda mengapa sains penting: untuk persiapan di dunia kerja, memahami implikasinya pada masyarakat, mempunyai nilai estetik karena mengungkap pola dan keteraturan, dst. Image sains pada abad 19 adalah mengagungkan Tuhan dan perlunya patuh pada orang tua; ada akhir abad 19 sains adalah untuk melatih pemikiran sejalan dengan populernya psikologi faculty; ada awal abad 20 sains adalah studi tentang alam yang dipersepsi setara alam rural murni dan indah, kontras dengan alam urban yang kotor, jahat dan penuh dosa; pada tahun 1920-1930-an sains adalah untuk mengurangi kerja kasar dan mengurangi penyakit dan selepas perang dunia II sains adalah bidang yang harus diwaspadai aplikasinya. Beberapa image kontemporer tentang sains (a) fokus pada sains yang dapat diterapkan dengan segera, (b) guru menghadapi siswa yang bervariasi latar belakangnya dibanding dengan 30 tahun lalu, (c) guru sains yang mempersepsi dirinya ‘serba eksak’ berhadapan dengan penerapan sains –misalnya menentukan lokasi pembuangan sampah- yang memerlukan pertimbangan berbagai aspek yang tidak ‘eksak’.
Christine Finnan dan Henry M. Levin dalam bab 7 mencatat pendapat Mead bahwa kultur itu seperti ikan yang tidak sadar hidupnya berada di air. Dua fitur kultur digunakan tulisan ini ialah (a) kultur berada pada level masyarakat/ kelompok orang (misal Barat, masa kanak-kanak, schooling), lokal (berdasarkan geografi, agama, etnis, okupasi, tempat kerja/sekolah,dst.) dan personal (untuk memahami dan membentuk interaksi antar orang) dan (b) fitur yang nampak kontradiktif dari kultur yaitu di satu sisi konservatif namun di sisi lain selalu berubah. Lima kepercayaan dan asumsi yang mendasari kultur sekolah adalah (a) Ekspektasi sekolah pada siswa: sekolah miskin menekankan kepatuhan dan disiplin, sementara sekolah kaya menekankan berpikir kritis; (b) ekspektasi siswa terhadap sekolah: sebagian resisten karena mendapat pengaruh dari masyarakat sekitarnya; sebagian sukses karena percaya pendidikan jalan ke kesuksesan, dst.; (c) karakteristik sekolah: sekolah miskin ditandai rendahnya percaya diri guru, pendapat pihak luar (orang tua, dst.) dianggap penghambat dan resisten terhadap perubahan, sekolah kaya sebaliknya; (d) praktek sekolah: misi yang didasarkan filosofi jelas (Montesori, bilingual, open learning, dst.), menuntun ke praktek yang jelas; ekspektasi dan siswa rendah menuntun ke praktek memorisasi dan pengajaran keterampilan dasar, dst. dan (e) tuntutan perubahan: jika keputusan diambil pada level birokrasi lebih tinggi, tuntutan berubah rendah. Hal yang tidak boleh dilupakan dalam kultur sekolah adalah sejarah sekolah. ASP (Accelerated School Project) adalah suatu reformasi pendidikan yang mengakui pentingnya kultur sekolah. Sejak 1986, ASP menyebar ke sekitar 1000 sekolah dasar dan lanjutan di 40 negara bagian, 12 pusat pendukung dan 300 tenaga terlatih yang memantau sekolah. Proyek bertujuan untuk mempercepat proses belajar terutama bagi siswa yang berisiko gagal dengan sekolah mengambil keputusan dalam hal-hal: eksplorasi semua dimensi sekolah, konstruksi tujuan dan visi, menetapkan prioritas, sistem pengelolaan yang melibatkan semua orang, pendekatan sistematis pada kaji-tindak dan pemecahan masalah serta tentang pedagogi menyeluruh yang menyatakan semua sumberdaya sekolah dikerahkan untuk menghadapi tantangan proses belajar mengajar.
Herbert Altrichter dan Stefan Salzgeber dalam bab 8 mengamati dekade lalu ditandai oleh reformasi sekolah yang bertema otonomi sekolah, desentralisasi dan devolusi baik di negara yang dulunya sentralistik (Austria dan negara Eropa lainnya) maupun di negara yang dulunya desentralistik (Inggris, Wales, dst.). Menurut ‘teori strukturasi rasional-kontinjen, organisasi itu sifatnya berorientasi tujuan dengan sistem perencanaan rasional dan dengan struktur objektif, sementara pengembangan organisasi dilaksanakan oleh konstruktor organisasi atas dasar kalkulasi rasional (Turk, 1989). Kontinjen artinya tergantung variabel konteks. Sementara itu, teori mikro-politik berpandangan (a) organisasi mempunyai beragam tujuan dan pengaruh, meskipun demikian teori (seharusnya) tidak menjelaskan konsensus sebagai suatu bentuk dominasi, eliminasi, pre-emprif atau menutup-nutupi konflik, (b) pelaku mengejar kepentingannya masing-masing sesuai nilai yang dianutnya, dan (c) perjuangan strategis dan penuh konflik terjadi atas definisi dan struktur organisasi. Beberapa masalah teori mikro-politik adalah (a) harus dapat menjelaskan bagaimana organisasi relatif stabil dan bertahan suatu waktu tertentu, (b) pengaruh dari luar organisasi, (c) tidak melihat politik semata sebagai pengkhianatan, konspirasi dan akumulasi pengaruh atau lawan dari kebenaran dan penalaran. Organisasi hampir tidak dapat dikonsepsi semata sebagai konglomerasi kekuasaan dan permainan (yang ditandai oleh resiko, pemenangan, cheating, dst.). Konsensus tidak semata diperoleh lewat negosiasi eksplisit, tapi juga bersumber dalam lebenswelt yang dapat dipahamkan sebagai konsensus historis generasi terdahulu yang kurang lebih dikenal luas serta yang sekarang direproduksi lewat tindakan. Doyle dan Ponder (1976) menafsirkan kesulitan yang dialami sekolah dasar ketika tugas pembelajaran makin kompleks dikenalkan sebagai proses negosiasi. Tugas makin kompleks menyebabkan siswa tidak nyaman dan ‘mengancam’ untuk tidak disiplin dan dengan demikian secara implisit melakukan negosiasi dengan pendidik: tugas lebih sederhana yang dikompensasi dengan disiplin di kelas.
Bridget Somekh dalam bab 9 mengawali tulisannya dengan parabel yang membawa pesan bagaimana seseorang dapat menikmati pendidikan/ pengembangan profesionalisme yang dikatakan bagus tapi kemudian setelah berhasil malah membuatnya menjadi budak orang lain. Kaji tindak adalah model perubahan yang tidak demikian, sembari menekankan prinsip kepemilikan dan profesionalisme guru. Kaji tindak dirumuskan dari riset perilaku individu dan kelompok oleh Lewin, Schon, dst. Tahun 1970-an kaji tindak disempurnakan di Impington dan secara luas didukung Education Act tahun 1944. Tahun 1980-1990-an, pemerintahan Thatcher mempunyai posisi oposisional –menekankan dualisme yang lekat dalam masyarakat Barat- dengan misalnya ucapan yang mengkultuskan individualisme lewat perkataannya ‘Tidak ada yang disebut masyarakat itu’. Posisi oposisional tersebut tidak sejalan dengan tema kaji tindak yang menolak posisi oposisional, dan malah mengeksplorasi serta membangun hubungan antara teori dan praktek, objektivitas dan subjektivitas, dst., sehingga dengan demikian tema kaji tindak adalah ‘tugas dobel’ yang dilaksanakan bersama-sama/ kolektif atau apa yang dinamakan Gidden ‘demokrasi dialogis’. Namun, tetap harus diingat bahwa ketika mendeskripsikan diskursus sebagai ‘regimes of truth’ yang dikonstruksi orang-orang sepemikiran, Foucault memprediksi ketidak-terhindaran semua sistem –seberapa besarnya pun niatnya untuk memberdayakan orang lain- mengembangkan ortodoksi dan mekanisme untuk memaksakannya dan beliau menyarankan gagasan dalam bukunya ‘sebagai alat… untuk menghancurkan sistem kekuasaan, termasuk kekuasaan yang darinya bukunya tersebut terbit’ (Foucault, 1975).
Angel Perez Gomez, dalam bab 10 menyarikan studi kasus praktek mengajar (practicum) delapan calon guru di delapan universitas di Andalusia (Spanyol). Tiap studi kasus berlangsung selama empat bulan. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh dan persisten adalah (a) tekanan kultur sekolah dan kelas yang harus diikuti jika ingin berhasil, (b) ketidaknyamanan personal dalam menguasai situasi kompleks dan asing serta ketakutan tidak dihargai sebagai guru, (c) teori yang dipelajari ditemukan tidak berguna untuk dipraktekkan di lapangan, (d) kekurangan acuan dan laternatif teoritis/praktis untuk men’judge’ semua yang diamati dan dialami dan (e) tidak berfungsinya supervisor sebagai penyeimbang kultur sekolah dan kelas.
Susan Groundwater Smith dan Rob Walker dalam bab 11 menyajikan studi dan catatan kasus sekolah dasar Hathaway (SDH) yang terletak di daerah migran di Sidney. Organisasi kelas SDH didesain ‘terbuka’: tiap hari berurusan dengan kebijakan dari atas dan dengan perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Studi SDH diinisiasi satu dekade lalu oleh Susan Groundwater Smith dengan tujuan untuk memperoleh catatan kasus untuk digunakan dalam program pendidikan guru. Di dunia pendidikan, studi kasus dikembangkan sejalan dengan proyek untuk mengimplementasikan perubahan kurikulum dan organisasi. Studi kasus merupakan tilikan sentral saat ini dalam kaji tindak, evaluasi, pengembangan kurikulum dan studi kebijakan. Dari sudut pandang metodologi, studi kasus sering dianggap istilah pantechnicon yang setara dengan riset kualitatif dan secara longgar dikaitkan dengan istilah-istilah evuvurncaluasi ilmunatif dan responsif, riset partisipan, etnografi pendidikan, riset naturalistik, dst. Studi SDH menyatakan perlunya bertanya secara eksplisit mengapa masalah tertentu saja yang dikaji dan mengapa masalah yang lainnya tidak dikaji. Hal lain yang juga dikaji SDH adalah perlunya guru dapat mengembangkan kaleidoskop permasalahan: fakta-fakta dapat disusun berulang-ulang untuk sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. Hal lainnya lagi adalah terdapat dua makna author; (a) membuat deskripsi koheren bagi diri sendiri dan (b) membuat deskripsi ‘ko-author’ dengan periset. Tahun 1970an Lawrence Stenhouse mendesain penelitian membandingkan interview (‘sejarah oral’) yang datanya dicari oleh Lawrence Stenhouse dan Jean Rudduck dengan observasi (‘etnografik’) yang datanya dicari oleh Stephen Ball dan Rob Walker. Dengan mengacu ke Alfred Schutz, Stephen selalu menyatakan bahwa interview sebagai suatu konstruksi sosial yang tidak dapat diperlakukan sebagai data yang lepas konteks (decontextualized data); persoalan serupa juga diamati Stephen dan Walker dalam memisahkan etnografer dari etnogarfi yang dibuatnya. Isu tersebut diberi tekanan oleh Stenhouse untuk membuat archives data yang padanya komunitas peneliti dapat menyumbang dan menggunakannya sebagai sumber analisis.
Christine O’Hanlon dalam bab 12 mencatat bahwa sejak tahun 1970an Eropa dan Amerika turun pertumbuhan ekonomi, pengaruh politik global dan legitimasi kulturalnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya diskursus-diskursus reflektif dan kritikal: teori kritikal, fenomenologi, etno-metodologi, Marxisme, eksistensialisme dan pasca-modernisme. Tema-tema tersebut dalam fokus akademis dipadukan dengan perspektif konstruksionisme sosial, dekonstruksionisme dan pasca-modernisme. Dalam perspektif pasca-modern masyarakat dipandang sebagai text serta teks ilmiah dan akademik sendiri dipandang sebagai tindakan retorik yang tidak mempunyai legitimasi logis atau empiris (inheren) ….(tapi adalah) representasi ideologi, kelompok dan kepentingan berbeda-beda. Dalam dunia pendidikan, tekanan critique ideologi dan pasca-empiris tersebut mempertanyakan pendidikan guru tradisional yang menekankan kemampuan akademis dan intelektual, sementara pengetahuan dan pengalaman praktis dianggap sebagai insidental dan bahkan ditiadakan karena dianggap subjektif atau anekdotal jika digunakan sebagai bukti dalam karya tulis dan disertasi. Praktek tradisional menuntut praktisi patuh pada suatu ‘otoritas’ yang dibangun dari pengalaman praktis. Hanya dengan cara demikian guru memperoleh pengetahuan praktis dan standards of excellence yang dengannya kompetensi praktisnya dapat dievaluasi. Sekarang ini, debat tentang pedagogi … mengabaikan bentuk keseluruhan ‘kurikulum’ dalam semua level dan gagal untuk menempatkannya dalam faktor sosio-kultural kompleks yang lebih luas yang berkaitan dengan concern ekonomi, politik dan strategis dalam masyarakat Barat… Sayangnya, kurikulum nasional tidak mengijinkan prinsip atau bahan ajar yang disusunnya untuk didebat, hanya detil-detilnya yang dapat dikaji ulang…[Padahal hal yang diperlukan adalah misalnya] pengembangan profesional guru menjadi pendidikan guru ketika teori kritikal tentang situasi pengajaran memberi kesempatan pada guru untuk menjelaskan dan memahami bagaimana pembelajaran dikontrol faktor-faktor di luar kelas dalam konteks masyarakat dan politik. Profesional dalam bidang pendidikan perlu mengenali bahwa pengetahuan pedagogi dan kurikulum selalu problematik dan dengan demikian selalu terbuka untuk dikaji, dinilai dan direvisi secara seksama.
Akhirnya, Lawrence Ingvarson dalam bab 13 mencatat tahun1973 labor government mengeluarkan Karmel Report yang isinya mengenai pengembangan profesional menyatakan bahwa suatu tanda okupasi berketerampilan sangat tinggi adalah proses persiapannya sesuai standar dari praktisi itu sendiri dan pengembangan selanjutnya juga sebagian besar adalah tangungjawab profesi tersebut…Kenyataannya guru mempunyai sedikit kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan organisasi guru lebih peduli pada pelayanannya pada industri, bukannya pada pengembangan keahlian yang dianggap tugas pemberi pekerjaan. Sekarang, kita mempunyai manajemen berbasis sekolah, tapi guru mempunyai kesempatan lebih sedikit dalam pengembangan profesi(onal)nya, kecuali dalam lingkup tujuan yang secara sentral ditetapkan dalam school charters dan kurikulum. Seperempat abad setelah Karmel Report, hampir semua negara bagian mempunyai budget pengembangan profesi(onal). Tapi, di Victoria missalnya, aktivitas dibatasi oleh school charters yang prioritasnya ditetapkan negara bagian dan pendidikan in-service yang school-focused bergeser ke pengembangan staf yang dikontrol manajemen. Tahun 1993, sebagai bagian dari kampanye, federal labor government memberi dana 60 juta AUD untuk program nasional pengembangan professional (NPDP)…Tapi, dana dapat digunakan hanya untuk tujuan yang ditetapkan pemerintah federal atau prioritas nasional seperti misalnya kurikulum nasional. Asesmen standar dan kinerja untuk sertifikasi dikembangkan NBPTS (National Boards for Professional Teaching Standards) Amerika. Asesmen serupa hendaknya meliput sekurang-kurangnya (a) standar pembelajaran, (b) struktur insentif, (c) infrastruktur pembelajaran profesional dan (d) sertifikasi profesional yang kredibel dan voluntary.