Fenomena Kiamat 2012
Jakarta
(ANTARA News) – Seorang peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) menyatakan fenomena meningkatnya aktivitas matahari
yang menurut ramalan suku Maya terjadi pada 2012 tidak perlu
dikhawatirkan apalagi dihubungkan dengan hari kiamat.
Peneliti astronomi dan astrofisik Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang baru saja dikukuhkan
sebagai profesor riset Indonesia Dr Thomas Djamaluddin Msc, Rabu,
menyatakan tidak ada yang istimewa dari fenomena alam 2012 itu karena
hanya siklus 11 tahunan meningkatnya aktivitas matahari.
“Fenomena 2012 yang menghebohkan
masyarakat lebih banyak berawal dari ramalan suku Maya, bukan berasal
dari alasan ilmiah. Kalau kemudian memang ada fenomena 2012 alasan
ilmiahnya apa? Tapi yang lebih banyak diungkapkan justru bukan
sainsnya,” kata Thomas usai dikukuhkan sebagai profesor riset di kantor
Lapan Jakarta.
Menurut Thomas, fenomena aktivitas puncak
matahari sebelumnya diperkirakan terjadi pada 2011, namun titik
minimumnya bergeser sehingga diperkirakan terjadi pada 2012. Namun,
sekarang pun ada pergeseran lagi sehingga kemungkinan terjadi pada 2013.
Secara alamiah, tegas Thomas, tidak ada
yang istimewa karena itu merupakan siklus 11 tahunan. “Terakhir terjadi
pada 1989 kemudian pada 2000, dan nanti 2012 atau 2013 akan terjadi
lagi.”
Orang kemudian mengkhawatirkan terjadi
badai matahari, padahal tidak akan ada badai matahari dahyat yang
menimbulkan dampak parah.
Badai matahari pada dasarnya adalah
fenomena bumi yang sering terjadi bukan saja saat aktivitas matahari
mencapai puncak, tetapi saat aktivitas mulai naik hingga turun lagi
tetap ada badai matahari.
Artinya memang frekuensi kejadiannya
lebih banyak pada saat puncak. Tetapi, menurut Thomas, kekuatan
terbesarnya belum tentu pada saat puncak. Sering kali yang paling kuat
justru setelah puncak.
“Katakan puncak yang lalu terjadi di
2000, tetapi aktivitas matahari yang paling besar, yang paling kuat
justru terjadi pada 2003,” katanya.
Perbincangan fenomena aktivitas matahari
ini juga berkembang, yang kemudian dikaitkan lagi dengan seolah-olah
akan ada tumbukan komet.
“Itu juga secara astronomi tidak ada
buktinya. Tidak ada informasi atau perkiraan akan ada komet besar yang
menabrak bumi pada 2012. Kemudian ada lagi yang memperkirakan ada planet
Nibiru, padahal planet Nibiru tidak dikenal dalam astronomi,” jelas
Thomas.
Berbagai perbincangan mengenai fenomena
2012, seperti seolah-olah berdasarkan teori astronomi ada asteroid besar
yang akan menghantam bumi, sama sekali tidak punya dasar atau tidak ada
alasan astronominya.
“Jadi pada dasarnya kekhawatiran 2012
lebih banyak terkait dengan penafsiran ramalan suku Maya, dan oleh ketua
suku Maya sendiri sudah menyatakan bahwa 2012 bukan akhir dan itu
hanyalah pergantian item kalender yang biasa,” kata dia.
Menurut Thomas, dampak dari badai
matahari yang ditimbulkan dari percikan partikel matahari dan
menimbulkan medan magnit itu selama ini hanya berdampak pada keberadaan
satelit di orbit dan terhadap transformer fasilitas jaringan listrik.
Badai matahari dapat menimbulkan induksi
ke fasilitas jaringan listrik sehingga terjadi kelebihan beban dan bisa
menyebabkan trafo meledak atau terbakar.
Sampah Antariksa
Dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhannya
sebagai profesor riset bersama Dr Ir Chunaeni Latief Msc, Thomas juga
menyatakan bahwa wilayah Indonesia yang dilalui garis ekuator cukup
panjang rentan menjadi tempat jatuhnya sampah antariksa yang sekarang
kian banyak.
“Sampah antariksa semakin lama semakin
banyak. Yang terpantau oleh sistem jaringan pemantau internasional ada
sekitar 13 ribu lebih dan ancamannya bisa mengganggu satelit aktif. Dan
salah satunya pernah, sampah antariksa bekas satelit Rusia menabrak
satelit aktif karena semakin banyak satelit di antariksa kemungkinan
bertabrakan semakin besar,” katanya.
Indonesia yang berada di garis ekuator
memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena risiko jatuhnya sampah
antariksa dibanding kawasan lain. Oleh karena itu Indonesia harus selalu
waspada karena berada pada wilayah yang sering dilalui orbit satelit.
Hal itu harus menjadi perhatian Lapan
dalam memberikan pelayanan informasi potensi bahaya benda jatuh dari
antariksa sehingga kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dapat dinetraliskan, demikian Thomas Djamaluddin.
Bersama Thomas, peneliti Lapan Dr Ir
Chunaeni Latief Msc juga dikukuhkan sebagai profesor riset dalam bidang
Opto Elektronika dan Aplikasi Laser. Dalam orasinya ia lebih mencermati
kandungan dan efek emisi gas rumah kaca (CO2) dan pemanfaatan instumensi
Satklim LPN-1A untuk penelitiannya yang bermanfaat bagi dunia
penerbangan, dan kajian pemanasan global.(*)
Sumber: antaranews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar